23 Nov 2010

Multisistem Pengelolaan Hutan (2): Sekilas tentang Silvikultur dan Pengelolaan Hutan

a. Silvikultur

Pengetahuan akan silvikultur pada dasarnya terbagi dalam 2 aliran utama yaitu: 1. Aliran eksperimentalis yang cenderung mencari teknik silvikultur agar potensi hutan menjadi optimal. 2. Aliran naturalis yang cenderung mengikuti alam (Soekotjo, 2009). Asosiasi ahli kehutanan Amerika (Nyland, 2002) menyatakan bahwa silvikultur adalah:

- Seni untuk membangun dan memelihara tegakan hutan dengan landasan ilmiah untuk
mengendalikan pemapanan tegakan, komposisi dan pertumbuhannya.
- Menggunakan perlakuan agar hutan menjadi lebih produktif, lebih bermanfaat bagi
pengusahaan hutan. Bermanfaat tidak hanya bagi pengusaha hutan tetapi juga bagi
masyarakat sekitar hutan dan masyarakat keseluruhan serta negera, baik generasi
kini maupun generasi mendatang, secara lestari.
- Mengintegrasikan konsep ekologi dan ekonomi pada perlakuan yang tepat untuk
memenuhi tujuan pengusahaan hutan.

Sementara itu dalam persfektif ekologi, Oldeman (1990) memberikan batasan bahwa silvikultur adalah ilmu pengetahuan kehutanan yang dirancang untuk mengendalikan proses yang terjadi di dalam ekosistem hutan, sedemikian rupa sehingga urutan perkembangan ekosistem hutan mencapai peluang tertinggi untuk kelangsungan hidup dari ekosistem hutan yang bersangkutan.

Dalam pengelolaan hutan produksi nasional, dikenal istilah sistem silvikultur. Sistem silvikultur merupakan suatu program perencanaan secara rinci dari perlakuan silvikultur yang mencakup seluruh kehidupan tegakan. Sistem silvikultur mencakup tiga perlakuan, yaitu: regenerasi, pemeliharaan dan pemanenan hasil. Sistem silvikultur menggambarkan bagaimana pemilik lahan mengelola suatu unit lahan selama waktu tertentu untuk kelestarian hasil dan mendapatkan keuntungan tertentu (Smith, 1986 dalam Nyland, 2002).

Sistem silvikultur dirancang untuk menangani seluruh kompleksitas biologis, fisik dan pertimbangan ekonomi yang mencakup problema pembalakan, manipulasi tegakan, proteksi terhadap tegakan, menjaga kelestarian kesuburan lahan hutan, mengatur tata air, menjaga kelestarian margasatwa dan administrasi pengelolaan hutan. Sistem silvikultur juga merupakan program untuk mampu merintis kondisi hutan yang diinginkan, yang akan menghasilkan produk atau kombinasi produk baru, lewat beberapa teknik silvikultur dan mengarahkan proses akibat tindakan silvikultur lewat satu atau beberapa rotasi (Soekotjo, 2009).

Sistem silvikultur terus mengalami perbaikan sesuai dengan kondisi hutan nasional. Beberapa diantaranya yang telah diterapkan dalam pengelolaan hutan produksi di Indonesia, meliputi:

• Tebang Pilih Indonesia (TPI). Ditetapkan melalui SK Dirjen Kehutanan No. 35/Kpts/
DD/I/1972 tanggal 13 maret 1972.
• Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Ditetapkan melalui SK Menhut No. 485/Kpts-
II/1989 tanggal 18 September 1989 dan pelaksanaannya diatur dengan SK Dirjen
Pengusahaan Hutan No. 564/KPTS/IV-BPHH/1989 tanggal 30 November 1989.
• Tebang Pilih Tanam Jalur (TPTJ). Ditetapkan melalui SK Menhutbun No.625/Kpts-
II/1989 tanggal 10 September 1989.

b. Pengelolaan Hutan

Dalam UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan ditetapkan bahwa semua hutan di dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan lestari untuk kemakmuran rakyat, pemerintah melakukan kegiatan pengurusan hutan, yang meliputi: Perencanaan kehutanan; Pengelolaan hutan; Penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan; dan Pengawasan.

Pengelolaan hutan pada dasarnya bagian dari kegiatan pengurusan hutan yang merupakan kegiatan yang meliputi: a. Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan; b. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan; c. Rehabilitasi dan reklamasi hutan; dan d. Perlindungan hutan dan konservasi alam.

Pengelolaan hutan nasional dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintan daerah (propinsi dan kabupaten). Pemerintah dapat pula melimpahkan penyelenggaraan pengelolaan hutan kepada badan usaha milik negara (BUMN) bidang kehutanan. Dalam rangka penguatan sistem pengurusan hutan nasional, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, kawasan hutan sesuai dengan fungsinya terbagi dalam KPH.

Kesatuan pengelolaan hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari. KPH terdiri atas:
a. KPH konservasi (KPHK);
b. KPH lindung (KPHL); dan
c. KPH produksi (KPHP).

Sementara itu, wilayah pengelolaan hutan dibentuk untuk tingkat:
a. propinsi,
b. kabupaten/kota, dan
c. unit pengelolaan.

Pembentukan wilayah pengelolaan hutan tingkat unit pengelolaan dilaksanakan dengan
mempertimbangkan karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan, kondisi daerah aliran sungai, sosial budaya, ekonomi, kelembagaan masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum adat dan batas administrasi pemerintahan. Pembentukan unit pengelolaan hutan yang melampaui batas administrasi pemerintahan karena kondisi dan karakteristik serta tipe hutan, penetapannya diatur secara khusus oleh Menteri Kehutanan.

Pemerintah menetapkan dan mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan
penutupan hutan untuk setiap daerah aliran sungai, dan atau pulau guna optimalisasi
manfaat lingkungan, manfaat sosial, dan manfaat ekonomi masyarakat setempat.
Luas kawasan hutan yang harus dipertahankan minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas daerah aliran sungai dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

(Bersambung...)

18 Nov 2010

Multisistem Pengelolaan Hutan (1)

Pengelolaan hutan nasional dihadapkan pada kondisi dimana ekosistem hutan telah terfragmentasi dalam kotak-kotak kecil pengelolaan, dimana kotak besarnya berupa Hutan Lindung, Hutan Produksi dan Hutan Konservasi. Inilah cikal bakal dimana saat ini diangkat perlunya mengelola hutan dalam tiga sistem utama yang berbeda, yaitu pengelolaan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi.

Dalam setiap kotak besar pengelolaan sekala nasional, hutan pun terbagi lagi dalam Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT), Hutan Lindung (HL), Taman Nasional (TN), Cagar Alam (CA), Suaka Marga Satwa (SM) dst. Terlepas dari berbagai karakteristik ekosistemnya yang juga beragam, pada dasarnya kita (Kementrian Kehutanan) sebagai pemilik dan pengelola hutan menurut amanat undang-undang telah membuat banyak sistem pengelolaan setiap kotak hutan kita.

Di sisi lain, hutan pun tidak terlepas keterkaitannya dengan masyarakat. Tingginya tekanan masyarakat terhadap hutan akhirnya mendorong diterapkannya pola-pola pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Istilah pemberdayaan masyarakat atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan telah dipilih sebagai istilah penting untuk menarik simpati masyarakat agar tidak merusak dan menduduki kawasan-kawasan hutan di balik semboyan penting peningkatan kesejahteraan masyarakat yang seperti sangat jauh dari terwujud.

Sebelum kita bergerak dalam pemikiran pengelolaan hutan secara multisistem, tentunya harus difahami bahwa pengelolaan hutan sendiri pada dasarnya sudah banyak dan terdapat kerumitan bagi kita untuk mengkaitkan sistem pengelolaan satu dengan yang lainnya. Apakah terdapat hubungan antara pengelolaan hutan konservasi dengan hutan produksi, hutan produksi dengan hutan lindung atau hutan lindung dengan hutan konservasi? Jawabannya sangat jelas bahwa ketiga sistem pengelolaan tersebut berbeda dan tidak menyatu satu dengan lainnya.

Konsep Daerah Aliran Sungai (DAS) apakah bisa mengaitkan sistem pengelolaan hutan lindung, hutan produksi dan hutan konservasi? Jelas pula jawabannya tidak.

Jika demikian apakah yang bisa mempersatukan pengelolaan hutan nasional?

Sebelum kita lebih lanjut membahas apa itu multisistem pengelolaan hutan yang dimaksud dalam tulisan ini, sebelumnya penulis akan menjelaskan darimana ide multisistem pengelolaan hutan ini dituangkan.

Berikut penuliskan sajikan sebuah link yang bisa dijadikan referensi penting pemahaman mengenai multisistem silvikultur yang akan menjadi salah satu landasan perlunya merumuskan multisistem pengelolaan hutan nasional, yaitu:

"http://cecep_kusmana.staff.ipb.ac.id/2010/06/15/tinjauan-aspek-ekologi-penerapan-multisistem-silvikultur-pada-unit-pengelolaan-hutan-produksi/"

Multisistem silvikultur berbeda dengan istilah multisistem pengelolaan hutan yang dimaksud dalam tulisan ini. Hal ini penulis sampaikan untuk tidak menimbulkan kerancuan pemahaman selama pembahasan. Silvikultur adalah suatu teknologi atau metode untuk menumbuhkan hutan khususnya di hutan-hutan produksi dimana istilah silvikultur banyak dipergunakan. Sementara yang dimaksud dengan multistem pengelolaan hutan dalam tulisan ini bukanlah istilah silvikultur melainkan istilah pengelolaan hutan secara luas.

(Bersambung...)

7 Nov 2010

Memaknai Hari Pahlawan

Pahlawan adalah orang yang berhak mendapat ganjaran terhadap kebaikan yang telah dilakukannya khususnya terhadap bangsa dan negara. Pahlawan adalah orang yang berjasa. Pahlawan adalah orang yang menjadi kebanggan dan menjadi suri tauladan bagi para generasi penerusnya.  Pahlawan adalah orang yang telah mengorbankan dirinya untuk kemerdekaan dan kejayaan bangsa dan negaranya.

Jika ditelaah dari sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara. Mungkin bisa dijadikan bahan renungan adalah tidak semua kita akan sependapat siapa yang seharusnya mendapatkan gelar pahlawan nasional.  Seberapa penting kah pengorbanan yang telah dilakukan oleh orang yang berhak mendapat gelar pahlawan?  Sejarah mencatat pahlawan nasional yang tidak akan ada pertentangan kita terhadap kepatutannya dalam mendapatkan gelar tersebut. Beberapa diantaranya adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman, Cuk Nyak Dien, Dr. Moh. Hatta, Kapitan Pattimura dan sederatan nama lainnya.  Pengorbanan mereka telah diakui dan tak diperdebatkan lagi.

Sekarang mari kita tinjau beberapa nama baru yang akan dicalon sebagai pahlawan nasional, diantaranya Ir. Soekarno (Proklamator Kemerdekaan dan Mantan Presiden RI),  Soeharto dan KH. Abdurrahman Wahid (Mantan Presiden RI).  Apakah mereka pantas menyandang gelar pahlawan nasional?  Beberapa dari kita sependapat, namun beberapa lainnya menyatakan tidak sependapat terkait perlu klarifikasi beberapa hal yang dianggap telah mencemarkan kesucian perjuangan mereka untuk bangsa dan negara.  Beberapa yang lebih moderat tidak mempermasalahkan pelurusan sejarah, namun yang terpenting adalah mereka telah membawa perubahan fundamental dan sangat penting bagi negara sehingga mereka tetap layak mendapatkan gelar pahlawan nasional, namun pengangkatan mereka hanya masalah waktu yang masih belum tepat.

Saya membaca beberapa artikel yang menyatakan bahwa istilah pahlawan dan pecundang adalah dekat dan tergantung dari sudut pandang mana kita melihatnya.  Dalam keseharian kita, akan sulit pula membedakan mana orang yang disebut pahlawan dan mana yang berhak mendapat hukuman dengan menyandang gelar penjahat. Terkait dengan hal tersebut, sebuah artikel menyatakan bahwa pahlawan atau tidaknya seseorang tergantung keberhasilan yang telah diraihnya. Sedikit ulasan dalam artikel tersebut dinyatakan bahwa jika saja Hitler telah berhasil dalam perangnya atau begitu pula dengan Napoleon, ataupun DN Aidit, maka nama mereka akan mencuat dalam peradaban baru yang dibangunnya dan seluruh negara akan menyanjungnya dan menjadikan mereka pahlawan. Begitu pula seandainya kita tidak merdeka, maka orang-orang yang sekarang dikenal sebagai pahlawan adalah nama-nama para pemberotak/penjahat dimata penjajah yang berkuasa.

Dalam istilah lainnya dikenal ada jenis pahlawan lainnya, diantaranya pahlawan revolusi, pahlawan pembangunan, pahlawan devisa dan paling sering kita dengar adalah Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Begitu banyak istilah pahlawan yang kita dengar.  Sedikit menanggapi istilah-istilah tersebut, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa tampaknya menjadi suatu  nama pahlawan yang paling sakral untuk diucapkan. Pahlawan jenis ini semestinya adalah orang yang berjasa namun tak mengharapkan sama sekali balasan terhadap jasa-jasanya. Siapakah orang dalam kategori ini, apakah guru? Pada kenyataannya terlepas dari pentingnya peranan mereka, tidak ada satupun dari semua pahlawan itu yang bekerja tanpa tujuan untuk hidupnya sendiri.  Adalah benar guru telah mencerdaskan bangsa, tapi guru adalah sebuah jabatan pegawai seperti pegawai lainnya yang juga mendapatkan gaji karena aktifitas mengajarnya.

Seorang ayah adalah pahlawan bagi anak istrinya, petani adalah pahlawan karena menyediakan makanan bagi seluruh bangsa, begitu juga dengan nelayan, kuli bangunan, koruptor ataupun maaf para PSK yang juga menghasilkan penambahan pendapatan negara dari pajak penghasilannya. Adalah sangat logis mengatakan bahwa sudut pandang kitalah yang kemudian menentukan apakah seseorang bisa disebut sebagai pahlawan atau bukan.  Seorang prajurit yang cukup terkenal, yaitu Mohammad Toha, adalah orang yang telah mengorbankan dirinya dengan menjadi bom hidup yang menghancurkan gudang mesiu tentara sekutu dan bahkan keharuman namanya diabadikan dalam lagu Halo-halo Bandung. Tapi apakah dia kemudian disebut sebagai Pahlawan Nasional?

Tentu sangat beralasan ketika Bung Karno menyatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya. Hari pahlawan yang kita kenal juga adalah sebagai wujud penghargaan bangsa atas perjuangan hidup mati para pahlawan bangsa yang mungkin tak kita kenal namanya. Negara ini merdeka karena curahan keringat, darah dan air mata para pahlawan kita. Dan memang sudah seharusnya kita menghargai jasa mereka dan memberikan penghargaan khusus untuk mereka.

Berdasarkan uraian diatas, tentunya adalah suatu keharusan kita untuk bijak dalam mengangkat seseorang menjadi pahlawan. Bagaimanapun gelar kehormatan mengatasnamakan bangsa adalah amanat bangsa yang perlu dipertanggung jawabkan kebenarannya secara nasional.  Yang terpenting adalah bukan siapa yang harus kita perdebatkan untuk dijadikan sebagai pahlawan, tapi mari kita luruskan kembali jati diri kita sebagai bangsa, moralitas kita sebagai orang beriman dan cara kita bertindak dalam etika budaya bangsa yang luhur agar kita bisa jernih menilai siapa yang pantas kita banggakan sebagai pahlawan. 

Pada dasarnya saya tidak berkepentingan dengan siapapun pahlawan bangsa. Saya telah hidup di jaman kemerdekaan dan bertindak di alam kemerdekaan yang justru mengharapkan kedamaian dan kesejahteraan dan tidak lagi mengharapkan pertumpahan darah yang sesungguhnya adalah mimpi buruk bagi kita yang terbiasa hidup dalam kemerdekaan.  Kehidupan sekarang dihadapkan pada rendahnya moral bangsa, kemiskinan, ketertinggalan teknologi, kerusakan alam dan ancaman kehancuran kehidupan karena kesalahan kita dalam mengelola alam. Pendapat saya adalah bahwa setiap kita adalah pahlawan selama setiap kita bisa berkiprah secara bersama-sama memajukan dan menyelamatkan bangsa dari keterpurukan dan kehancuran.  Tak perlu kita mengkultuskan lagi orang per orang atau kelompok per kelompok sebagai orang yang paling berjasa terhadap negara. Semua kita adalah pejuang bagi bangsa ini dalam bidang dan dengan kemampuan kita masing-masing.  Setiap kita adalah pahlawan minimal untuk diri kita sendiri dan keluarga kita atau orang-orang terdekat kita atau saudara-saudara kita.

Memaknai hari pahlawan tidaklah semestinya hanya dilakukan melalui upacara seremonial yang kental dengan nuansa militer.  Memaknai hari pahlawan semestinya dengan bersama-sama kembali mengatur langkah membenahi keterpurukan bangsa ini dari kemiskinan, kebodohon, ketertinggalan dan keburukan moral.  Bangsa ini bangga mempunyai pahlawan. Namun sesungguhnya kita jangan melupakan bahwa bangsa ini bukan hanya sebagai warisan para pahlawan tapi adalah juga titipan anak cucu kita yang juga mengharapkan kita menjadi pahlawan bagi mereka.  Kultus pahlawan sebagai korban perang seharusnya kita singkirkan, karena kemerdekaan yang sesungguhnya barulah dimulai sebagai bangsa. Tetapi kemerdekaan sebagai warga negara apakah sudah terwujud.  Kita harus jujur bahwa tidak ada seorang pun di negeri ini yang bisa dengan yakin menyatakan bahwa hatinya telah merdeka.  Begitu banyak hal yang harus dibenahi dan sebanyak itupula tantangan kemerdekaan itu harus dijawab oleh kita para pahlawan dimasa kemerdekaan.

Terima kasih para pahlawan, semoga dengan keteladanan dan pengorbananmu, kami bisa menjadikanmu contoh dan menjadikan kami para pahlawan untuk generasi kami dan generasi setelah kami.  Tuhan Yang Maha Pengasih akan memberikanmu ganjaran surga untuk semua kebaikan yang telah engkau lakukan. Semoga dengan bimbingan Tuhan Yang Maha Bijaksana, akan menjadikan kami penerusmu dan pengemban amanatmu untuk mewujudkan kejayaan bangsa.  Terima Kasih sekali lagi para pahlawan bangsa.

6 Nov 2010

Hegemony Para Penunggu Gunung versus Teknologi

Apa yang salah ketika kita mencoba mempercayai sesuatu untuk tujuan kebaikan? Tentunya adalah hak setiap orang untuk itu dan klaim bahwa kitalah yang paling benar justru akan menimbulkan pertikaian yang tidak produktif untuk kebaikan yang kita perjuangkan. Tapi tentunya jika keyakinan itu memang untuk kebaikan yang sebenarnya dan bukan kebaikan untuk diri sendiri yang justru merugikan bagi orang lain.

Kebenaran terhadap hadirnya makhluk ghaib dalam kehidupan nyata adalah hal yang terus mendampingi sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa-bangsa. Kepercayaan terhadap dunia ghaib kadang bisa dijadikan senjata untuk menarik simpati masyarakat untuk tujuan pelestarian alam. Upacara-upacara seremonial berbau mistik pun kadang diangkat secara nasional sebagai suatu wujud 'kearifan' masyarakat dan menjadi objek wisata yang menarik perhatian banyak pihak. Upacara cuci senjata pusaka, upacara tolak bala dan upacara pengusiran roh-roh halus menjadi pilihan wisata yang banyak diminati. Dalam beberapa acara di televisi, upaya melihat adanya makhluk ghaib bisa menjadi acara pilihan menarik bagi beberapa kalangan.

Saya adalah orang beragama. Agama saya membenarkan adanya kehidupan di alam ghaib dengan beberapa kisah yang meriwayatkan keberadaannya. Namun agama saya juga membolehkan kebebasan untuk berfikir bahkan hingga batas limit terakhir yang mampu dijangkau oleh kemampuan otak. Disisi lain, Tuhan memberi saya hati yang menjadi tempat segala bisikan baik dan buruk berada. Hati mampu mengendalikan arah hidup untuk menuju sesuatu yang baik atau membenarkan bisikan setan hingga saya bisa menjadi seorang perusak dan penghancur kehidupan.

Peradaban manusia terlahir dari proses pembelajaran baik terhadap hal yang ghaib maupun belajar dari pengalaman-pengalaman hidup manusia sebelumnya. Peradaban besar sepanjang masa terus menarik untuk menjadi kajian secara ilmiah dewasa ini. Bagaimana di masa lalu dengan semua keterbatasan teknologinya, mampu menghasilkan karya yang luar biasa dan mampu bersaing dengan teknologi canggih saat ini masih menuai misteri. Dalam segi peramalan, teknologi canggih mampu memperdiksi suatu peristiwa alam berdasarkan sederatan analisa terhadap perubahan alam dan dengan kecanggihan teknologinya mampu memproses semua informasi secara cepat menjadi suatu masukan manajerial. Begitu pula halnya dalam kebudayaan kuno (yang sampai sekarang masih dipercaya), kemampuan meramal itu bahkan hingga sekarang masih dipercaya kebenaran hasilnya.

Kita bisa berkata segala sesuatu adalah kehendak Tuhan. Tuhan berkendak, maka terjadilah apa yang dikehendakinya. Tapi kadang kita lupa bahwa kehendak Tuhan adalah demi kemuliaan manusia. Tuhan juga memberikan kita otak untuk berfikir dan hati untuk merasakan. Penyerahan diri bahwa segala sesuatu hanyalah ditentukan oleh kehendak Tuhan dan tanpa berusaha untuk mengambil pelajaran ataupun langkah-langkah untuk tetap menjaga kehidupan menjadi lebih baik adalah suatu kesalahan pemikiran atas kebenaran kehendak Tuhan. Tuhan Yang Maha Pengasih sesungguhnya hanya akan merubah nasib suatu kaum jika kaum itu selalu berusaha memperbaiki hidupnya. Kasih sayang Tuhan juga sejalan dengan usaha manusia.

Berkaca dari para penunggu gunung yang hadir seiring dengan meletusnya Gunung Merapi, tentunya adalah suatu kesalahan bila kita kemudian menjadikan mereka adalah sesuatu yang harus disembah. Setiap penunggu bisa diibaratkan camat, bupati, gubernur atau presiden yang membawahi wilayah tertentu. Jauh di atas mereka tentunya ada penguasa lain yang selalu menjadi tempat dia bergantung dan selalu mendampingi para pejabat atau penunggu itu dalam berbuat. Dialah Tuhan.

Hikmah dari keyakinan terhadap dunia ghaib di masa lalu adalah kita bisa belajar. Belajar tentang kearifan bahwa manusia sesungguhnya bukanlah penguasa tunggal di bumi ini. Dalam setiap keyakinan masa lalu ada cerminan kearifan manusia terhadap alam dan kehidupan. Berkaca pada alam menghasilkan manusia-manusia yang arif dalam mengendalikan kemampuan otak dan teknologinya. Sudah saatnya kita tidak lagi mengagungkan hegemoni kita terhadap budaya masa lalu maupun kecanggihan teknologi masa kini. Teknologi bersifat terbatas sesuai kemampuan otak kita yang terbatas. Kebudayaan masa lalu menghasilkan kearifan kita terhadap alam dengan semua filosofinya yang terbuka untuk dipelajari. Semestinya budaya dan teknologi mampu digabungkan untuk menghasilkan manusia-manusia moderen yang canggih dalam berfikir namun arif dalam mengembangkan teknologinya.

22 Okt 2010

Agroforestri dan Silvikultur Hutan Nasional

Teknologi silvikultur dirumuskan secara seimbang dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan pendekatan-pendekatan kelestarian hutan dan lingkungan yang berada di suatu lokasi tertentu. Teknologi silvikultur akan berbeda seiring dengan dinamika kebijakan kehutanan pusat yang mempengaruhi teknologi silvikultur di tingkat unit pengelolaan dan tapak.

Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman termasuk tanaman pohon-pohonan dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (Permenhut No. P.7/Menhut-V/2007)

Sebagai sebuah model pengelolaan lahan, agroforestri mempunyai implikasi-implikasi positif dalam menjembatani kepentingan masyarakat terhadap hasil lahan jangka pendek dan keperluan pemenuhan produk hutan jangka panjang. Agroforestri juga mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan dan meningkatkan fungsi ekologis hutan.

Pengembangan Agroforestri di Indonesia dilaksanakan di dalam kawasan hutan dan lahan-lahan milik rakyat di luar kawasan hutan negara pada daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan Agroforestri dan daerah rawan pangan di Kabupaten/Kota. Agroforestri diwujudkan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Rakyat.

Beberapa implikasi terkait penerapan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur:

• Kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak/ikan, merupakan jembatan bagi pemenuhan berbagai kepentingan terkait penggunaan lahan.

• Pada skala unit lahan kelola pengaturan kombinasi jenis pada agroforestri dilakukan untuk memberikan solusi bagi berbagai permasalahan seperti menekan permasalahan sosial dan peningkatan produktifitas lahan.

• Kombinasi jenis pada sistem agroforestri dapat dilakukan pada sekala lansekap dimana pengaturan jenis dilakukan pada mozaik-mozaik. Masing-masing mozaik memiliki kerapatan dan fungsi tertentu. Kombinasi jenis seperti ini cukup efektif dalam meningkatkan kelestarian tumbuhan dan satwa disamping tetap meningkatkan produktifitas lahan-lahan pertanian di dalamnya.

Perlu menjadi bahan pemikiran bersama bahwa ketika masyarakat menjadi pengelola hutan dan teknologi agoforestry dijadikan sebagai teknologi silvikulturnya, maka beberapa hal perlu diperhatikan:

1. Nuansa ekonomi kerakyatan harus menjiwai pengelolaan hutan oleh masyarakat. Luas lahan kelola masyarakat perlu dibatasi baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Hasil kajian di Pulau Lombok menunjukan bahwa luasan 2 - 5 ha per orang adalah luasan optimal yang mampu dikelola oleh satu kepala keluarga yang memberikan keuntungan yang cukup menguntungkan secara ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sesuai keterbatasan kemampuan permodalan, teknologi dan tenaga kerja yang dimilikinya. Ketika masyarakat berkumpul dalam satu kelembagaan usaha, maka luasan total lahan kelola perlu dihitung berdasarkan luasan minimal dikalikan jumlah anggota kelompok. Ketika luasan lahan tidak dibatasi, maka akan membuka peluang masuknya para pemilik modal yang mengatasnamakan masyarakat dan masyarakat miskin akan kembali tersingkirkan. Nuansa ekonomi kerakyatan juga diwujudkan dengan pemantapan kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Adopsi pranata sosial dalam penerapan penghargaan, sangsi dan aturan-aturan pengelolaan lahan dan bagaimana masyarakat menumbuhkan usaha ekonominya perlu dilakukan.

2. Pembinaan kelembagaan lokal, pendampingan dan fasilitasi usaha perlu diberikan hingga pada suatu kondisi dimana masyarakat secara kelompok mampu mandiri mengelola hutan.

3. Input teknologi tepat guna perlu terus dikembangkan dan diintroduksikan dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat untuk mendukung peningkatan produktifitas lahan dan pendapatan masyarakat. Penggunaan bahan-bahan kimia dalam budidaya tanaman semusim sejauh mungkin dihindari. Pengembangan teknik-teknik konservasi tanah dan air yang mampu meningkatkan produktifitas lahan dan pendapatan petani pada tiap unit lahan kelola yang sempit dan dengan input biaya yang rendah perlu mendapatkan perhatian khusus.

4. Pengelolaan hutan oleh masyarakat sangat mungkin akan menyebabkan hutan terbagi dalam luasan-luasan kelola yang sangat sempit. Dengan demikian penataan setiap mozaik kecil lahan kelola perlu dilakukan untuk menekan seminimal mungkin fragmentasi hutan dalam sekala luas dan mengarahkan komposisi dan struktur jenis yang dikembangkan oleh masyarakat dalam batas yang mendukung kestabilan lahan dalam menahan erosi dan kelestarian siklus hidrologi dalam bentangan lahan yang luas.

5. Masyarakat sebagai pengelola hutan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan para pengelola hutan lain yang bergerak dalam skala besar. Berbagai aturan pengelolaan hutan perlu diterapkan. Dalam hal ini keharusan adanya areal konservasi, daerah perlindungan sumber-sumber air, perlindungan tebing, tata aturan terkait administrasi pemasaran, peredaran hasil hutan, perlindungan hutan dan aturan lainnya tetap diberlakukan. Penerapan hak dan kewajiban yang sama akan menumbuhkan profesionalisme pengelolaan hutan di tingkat petani yang bukan mustahil akan menjadi pendorong cikal bakal perubahan paradigma silvikultur hutan tropis nasional dari menekankan usaha dengan padat modal dan teknologi tinggi yang diadopsi dari sistem dan metode silvikultur negara-negara maju menuju paradigma baru pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang padat karya dan pro kemakmuran bagi rakyat.

Agroforestri sebagai sebuah solusi teknologi silvikultur perlu dirumuskan penerapannya terkait dengan telah dibukanya akses yang cukup besar bagi masyarakat secara kelompok untuk mengelola hutan secara langsung. Perlu kehati-hatian dalam menjadikan agroforestri sebagai sebuah teknologi silvikultur dalam hal mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan pengelolaan lahan oleh masyarakat, mengatasi rendahnya kesiapan masyarakat secara kelembagaan, ekonomi dan teknologi dalam pengelolaan hutan serta mengatasi tingginya peluang fragmentasi hutan dalam luasan yang lebih kecil.

Agroforestri sebagai teknologi silvikultur juga harus mampu menumbuhkan iklim yang sehat dalam berbagi keuntungan, tanggung jawab dan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui agroforestri seharusnya juga merupakan wujud perkuatan ekonomi nasional. Keseriusan semua pihak dalam pengembangan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur sangat penting untuk mewujudkan nilai-nilai lebih dan implikasi-implikasi positif penerapan teknologi agroforestri dalam pengelolaan hutan tropis di Indonesia.

Agroforestri membawa paradigma baru pengelolaan hutan dimana penumbuhan ekonomi masyarakat dan kelestarian hutan pada unit tapak akan memberikan dampak pada penumbuhan ekonomi dan kelestarian hutan secara nasional. Paradigma ini menggantikan paradigma lama pengelolaan hutan nasional yang menekankan pertumbuhan yang pesat dari usaha sekala besar untuk membantu tumbuhnya usaha-usaha sekala kecil. Pertanyaan besar apakah paradigma baru tersebut akan lebih berhasil daripada paradigma lama yang terbukti memiliki banyak kelemahan? Keseriusan dalam menjadikan agroforestri sebagai suatu solusi teknologi silvikultur nasional akan menjadi kunci keberhasilan implementasinya.

21 Okt 2010

Keragaman Genetik dan Basis Pengendalian Hama Hutan Terpadu

Beberapa hal perlu diperhatikan sehubungan dengan pengendalian hama hutan terpadu, sebagai berikut:

1. Hama merupakan istilah yang rancu dan tidak relevan diangkat apabila kita memandang hutan sebagai suatu ekosistem alam. Organisme yang dikenal sebagai hama pada dasarnya merupakan komponen biotik penyusun ekosistem hutan. Setiap komponen penyusun ekosistem mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan menjadi bagian penting dari pergeseran keseimbangan ekosistem hutan menunju keseimbangan baru sebagai respon terhadap dinamisasi lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Istilah hama muncul dari sisi kepentingan manusia. Istilah hama hutan akan relevan dibahas ketika hutan berada dalam pengelolaan manusia yang mengendalikan, membangun, memelihara dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia dan keberadaan organisme atau agensia biotik tersebut memberikan dampak buruk terhadap keberhasilan pengelolaan yang dilakukan oleh manusia tersebut.

3. Keseimbangan ekosistem hutan dalam fungsi-fungsinya menjadi landasan utama ketika suatu organisme atau agensia biotik disebut sebagai hama hutan. Orangutan, babi hutan, burung, serangga, bakteri atau jamur yang mengganggu tanaman budidaya tidak serta merta dianggap hama ketika justifikasi ilmiah keseimbangan hutan menetapkan bahwa populasi organisme atau agensia biotik tersebut masih berada dalam kisaran normal alami fungsi hutan dan manusia justru bisa dipersalahkan karena mengganggu keseimbangan ekosistem hutan yang harus dijaganya.

4. Untuk menghindari kerancuan makna, maka yang dimaksud hama hutan dalam tulisan ini hanyalah mencakup organisme atau agensia biotik pengganggu pada suatu tegakan berupa serangga atau jasad renik yang populasinya sangat besar dan tidak terkendali yang sangat merugikan secara ekonomi dan menimbulkan kerusakan yang besar terhadap fisik tegakan yang dibangun

Keragaman genetik dan ukuran populasi memegang peranan penting terhadap daya tahan tumbuhan terhadap hama atau gangguan lain yang diterimanya. Pertanyaan yang perlu dijawab terkait hal tersebut dalam kaitannya dengan pengendalian hama hutan terpadu adalah:

1.Sejauhmana keragaman genetik dan ukuran populasi mampu meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan hama?

2.Bagaimana mempertahankan keragaman genetik dan populasi tumbuhan agar tahan terhadap gangguan hama atau perubahan lingkungan yang dilakukan dalam pengelolaan tegakan?

Tumbuhan berbeda dengan satwa dalam hal respon terhadap stress lingkungan yang diterima tidak dapat dihindarkan dengan mekanisme pergerakan/perpindahan tempat. Serangkaian respon fisik, fenotifik dan hormonal dilakukan oleh tumbuhan untuk mengatasi stress yang diterimanya. Setiap respon tumbuhan terhadap lingkungannya ditentukan oleh gen-gen yang diwarisi dari tetuanya dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Toleransi dan adaptasi tumbuhan terhadap stres sangat menentukan apakah respon yang dilakukannya dapat menyebabkan tumbuhan pulih, bertahan, mengalami gangguan serius atau mati.

Seleksi, migrasi, hibridisasi dan mutasi gen sebagai pengaruh dari lingkungannya sangat menentukan munculnya karakteristik-karakteristik khas suatu individu pohon. Pada rentang ruang dan waktu, dinamisasi genetik menyebabkan terjadinya keragaman genetik yang berbeda antar jenis, dalam satu jenis di dalam populasi dan antar populasinya. Keragaman genetik menurut ruang dan waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh luas persebaran, lama tumbuh, polinator dan sistem breeding yang dikembangkan oleh suatu jenis tumbuhan.

Kajian tentang keragaman genetik merupakan kajian yang sangat rumit mengingat bahwa keragaman genetik tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat besar, bahkan di dalam satu individu, terlebih lagi apabila yang dibicarakan adalah pada tingkat populasi, komunitas hingga meliputi satu ekosistem. Bahkan untuk menentukan struktur genetik apa yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan respon tumbuhan terhadap stress masih menjadi tantangan untuk dipecahkan.

Penelusuran seluruh sifat genetik tumbuhan untuk mengetahui hubungannya dengan karakteristik khusus tumbuhan masih merupakan kegiatan yang sangat besar, membutuhkan waktu yang lama dan pendanaan yang sangat besar. Namun setidaknya bahwa adanya indikasi kontrol genetik yang signifikan mempengaruhi karakteristik kelurusan batang, aktifitas phytohormon tertentu, kerapatan kayu, peningkatan hasil tanaman pertanian dan ketahanan tumbuhan terhadap hama memberikan pengetahuan yang sangat penting dan bahwa semua karakteristik genetik tersebut diwariskan terhadap keturunannya perlu dijadikan landasan dalam pengelolaan keragaman genetik suatu jenis, populasi atau komunitas dalam jangka panjang.

Dalam jangka panjang, dinamisasi alam memegang peranan penting terhadap terjadinya seleksi genetik di dalam dan antar populasi tumbuhan. Hanya jenis yang mempunyai karakteristik khusus sebagai representasi genetiknya yang lebih mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya yang akan mampu bertahan dari kepunahan. Pohon-pohon yang secara alami dominan di suatu lokasi dapat dijadikan indikator bahwa karakteristik genetik pohon-pohon tersebut paling sesuai dan paling menguntungkan terhadap kondisi lingkungan di lokasi tersebut. Meskipun seleksi tersebut mengarah pada terjadinya penurunan keragaman genetik suatu populasi tumbuhan, namun proses seleksi yang dilakukan dalam rentang waktu yang lama menyebabkan tumbuhan masih mampu mengembangkan adaptasi morfologis maupun fenotifis secara baik yang mampu memperlambat laju kepunahan alaminya.

Isu penting terkait keragaman genetik suatu populasi dalam hubungannya dengan ketahanan tumbuhan di alam yang mempengaruhi kepunahannya adalah telah terjadinya penurunan keragaman genetik dan tingginya kerentanan kepunahan pada populasi-populasi kecil. Hilangnya habitat, introduksi jenis, eksploitasi berlebihan dan pencemaran yang terbesar dilakukan oleh manusia memberikan sumbangan terbesar terhadap laju kepunahan jenis di alam. Sementara itu, peranan manusia dalam melakukan fragmentasi populasi, bencana alam, demografi dan karakteristik genetik dalam populasi kecil meningkatkan resiko kepunahan dalam populasi kecil.

Seleksi antar jenis, seleksi dalam suatu populasi dan antar populasi yang sering dilakukan manusia dalam mencari jenis-jenis unggul sangat penting untuk dicermati. Jenis-jenis dengan karakteristik yang relatif homogen dan hanya mempunyai satu atau beberapa karakteristik yang sesuai dengan keinginan manusia yang umum ditolerir keberadaannya. Seleksi antar jenis kadang tidak cukup untuk memenuhi keinginan manusia, sehingga seleksi dilakukan manusia pada tingkat yang leibh tinggi yaitu tingkat komunitas hingga ekosistem. Seleksi tingkat komunitas dicirikan oleh adanya manipulasi lingkungan fisik dan biotik untuk mendukung kepentingan jenis-jenis eksotik tertentu. Seleksi pada tingkat ekosistem jauh lebih berbahaya lagi. Contoh yang paling nyata seleksi seperti ini adalah dengan perubahan ekosistem hutan gambut menjadi ekosistem baru untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian.

Selain penurunan keragaman genetik, fragmentasi habitat yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian dan pemukiman dalam skala luas cukup penting pula untuk dikemukakan. Fragmentasi habitat telah menyebabkan terisolasinya populasi dalam luasan-luasan kecil. Kerentanan populasi kecil tersebut bersumber dari tingginya depresi inbreeding (perkawinan kerabat) yang memunculkan individu-indivu resesif dan menghasilkan individu-individu yang memiliki rentang toleransi dan adaptasi yang rendah terkait rendahnya warisan genetik yang mampu dikembangkannya. Pada populasi seperti ini, dengan perubahan yang lebih sedikit pada alam akan menyebakan resiko kepunahan yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian hama hutan berbasis keragaman genetik dilakukan melalu empat cara, yaitu:

1. manipulasi jangka pendek terhadap setiap komponen penyusun ekosistem untuk meningkatkan kesehatan dan ketahanan tumbuhan terhadap hama serta untuk memanipulasi komponennya untuk mengendalikan populasi hama;

2. fasilitasi jangka panjang bagi terjadinya peningkatan keragaman genetik jenis-jenis varietas unggul menghadapi beragamanya pemunculan hama baik jenis maupun biotipenya;

3. fasilitasi terbangunnya areal konservasi genetik bagi jenis-jenis yang dibudidayakan secara monokultur sehingga rekayasa genetik tidak dilakukan melalui mutasi genetik tetapi lebih kepada persilangan antar kerabat sehingga peningkatan ketahanan secara genetik seiring dengan minimalnya efek kerugian jangka panjang secara genetik. Kerugian jangka panjang yang dimaksud adalah meningkatnya jenis-jenis tidak fertile, resesif, sangat homogen secara genetik dan hilangya keragaman genetik dalam galur murninya. Kerugian tersebut menyebabkan secara genetik populasi tersebut sangat rentan dan dibutuhkan pengelolaan yang sangat intensif yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan masih rendahnya pemahaman manusia terhadap struktur genetik dan pengaruhnya terhadap ketahanan tumbuhan dalam populasinya.

4. mengurangi laju kerusakan hutan, fragmentasi habitat, pencemaran, seleksi jenis yang berlebihan dan itroduksi jenis-jenis eksotik melalui serangkaian regulasi yang berlaku secara nasional maupun ditingkat tapak, pembuatan standarisasi dan panduan-panduan, pengembangan dan penggalangan dana bagi riset-riset terkait serta pembangunan lembaga yang kompeten untuk mengawasinya.

Basis keragaman genetik perlu dipertimbangkan dalam perumusan metode perlindungan hama hutan secara terpadu. Meskipun dalam jangka pendek basis genetik dapat ditujukan untuk melakukan perekayasaan genetik untuk menghasilkan jenis-jenis unggul tahan hama, namun tujuan jangka panjang pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan dan menekan terjadinya kepunahan jenis di habitat alami dan buatan merupakan titik penting penerapan basis keragaman genetik dalam perlindungan hama.

Kelestarian keragaman genetik adalah kelestarian aset nilai ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Pertumbuhan penduduk terus meningkat seiring dengan tingginya kehilangan keragaman genetik dan semakin meningkatnya potensi serangan hama terhadap hutan. Maka sangat beretika ketika kita mengelola alam bukan hanya secara produksi tetapi jauh mengelola pada unsur sangat mikro dari suatu jenis yaitu pada tataran gen untuk kelestarian jenis dan kepentingan jangka panjang umat manusia itu sendiri.

Kepunahan jenis terjadi secara alami dan tidak seharusnya manusia mempercepatnya kealfaan atau dengan tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab. Dengan demikian penggalian potensi, pengembangan dan pelestarian keragaman genetik sangat penting dan pelu dilakukan. Gangguan alam berupa serangan hama mungkin hanya merupakan satu dari banyak indikasi bahwa alam sendiri telah dikelola secara arif dan keseimbangan ekosistem telah dimanipulasi pada tingkat yang membahayakan baik bagi kelestarian jenis maupun bagi keberlanjutan kehidupan umat manusia itu sendiri.

Penggalian potensi, pengembangan dan pelestarian keragaman genetik tidaklah mudah, sederhana, sempit dan murah untuk dilakukan. Maka pelibatan semua unsur terkait dalam penggalangan dukungan pendanaan, kepedulian, pelaksanaan program, monitoring dan perlindungan hukum dalam kerangkan kelestarian keragaman genetik perlu dilakukan sebelum pada kenyataannya suatu jenis sesungguhnya telah punah secara genetik sebelum manusia menyadarinya.

NB. Disarikan dari berbagai referensi terkait.

Memupus Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Pembangunan Kehutanan?

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia kehutanan bukan merupakan wujud kegagalan pengelolaan hutan nasional akan tetapi lebih disebabkan resultante permasalahan lintas sektor yang dipicu oleh adanya kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar, timbulnya bencana alam yang distimulir oleh kerusakan hutan dan lahan serta tindakan tidak bertanggung jawab “oknum-oknum” penjahat lingkungan dalam mengelola hutan. Ketidakpercayaan akan menghasilkan anarkhisme, benturan kepentingan dan langkah-langkah kontra produktif terhadap keberhasilan pembangunan kehutanan nasional.

Memutus rantai ketidakpercayaan yang membelenggu pengelolaan hutan nasional bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Ketidakpercayaan muncul sebagai rangkaian pengalaman sosial masyarakat yang buruk di masa lalu dan terus berkembang hingga sekarang. Memutus rantai ketidakpercayaan harus dilakukan secara terintegrasi dan bukan hanya dilakukan melalui solusi sektoral dunia kehutanan semata.

Memutus rantai ketidakpercayaan terhadap pembangunan kehutanan nasional perlu diawali dengan introspeksi bahwa dunia kehutanan sendiri memiliki banyak kelemahan dalam pengelolaan hutan. Memutus rantai ketidakpercayaan juga perlu dilakukan secara terpadu dengan reposisi yang tepat terhadap center of excellent pengelolaan hutan, penegakan hukum dan sangsi moral terhadap para penjahat lingkungan serta pengembangan solusi praktis mengatasi tingginya kerusakan hutan dan lahan serta kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

Reorientasi pengelolaan hutan perlu dilakukan sebagai bagian dinamisasi pembangunan kehutanan. Reorientasi pengelolaan hutan setidaknya dilakukan dalam empat hal utama, yaitu:

1) Mengembangkan sikap rasional dalam memenuhi tuntutan sosial, ekonomi dan lingkungan;
2) Menghilangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam pembangunan kehutanan melalui pemberian akses kepada masyarakat untuk turut serta secara aktif dan berbagi keuntungan dalam pengelolaan hutan nasional;
3) Menumbuhkan tanggung jawab bersama pengelolaan hutan nasional; dan
4) Membuka diri dalam konsep maupun aplikasi dan menumbuhkan profesionalisme dalam diri dunia kehutanan itu sendiri, dalam diri masyarakat dan dalam diri sektor-sektor non kehutanan yang aktifitasnya mulai merambah pada tataran kewenangan dunia kehutanan. Profesionalisme kehutanan adalah wujud dari tanggung jawab dan kemampuan para pengelola, pejabat, masyarakat secara luas dan para praktisi kehutanan dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.

13 Okt 2010

Kehutanan Akhirnya Mulai Bersuara

Sungguh menarik berita di salah satu situs berita online tertanggal 12/10 2010 yang mengangkat ucapan Pak Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan: "Wasior tidak cocok menjadi Kota,direncanakan akan direlokasi. Tidak boleh ada pemukiman padat, topografi seperti itu."

Apa yang menarik adalah bahwa pemahaman tentang alam telah masuk menjadi suatu pemikiran praktis para pejabat. Hal ini telah sejak lama terjadi, meskipun dengan implementasi yang terus dipertanyakan, namun dengan kejadian tersebut kita tidak lagi perlu berdebat berkepanjangan tentang bukti dan siapa yang bertanggung jawab. Kitalah yang salah dengan tidak memperhitungkan alam dimana kita berada dan dengan tanggung jawab bersamalah bencana tersebut dapat ditanggulangi.

Namun hal menarik pula untuk disimak dalam pemberitaan tersebut bahwa diakhir beritanya disebutkan bahwa: "Meski demikian, pihaknya belum mengetahui tempat yang cocok bagi relokasi Wasior. Perlu penelitian secara mendalam agar didapat lokasi yang cocok. Harus dibicarakan lebih lanjut, perlu kunjungan dan tinjauan jangan memindahkan masalah."

Suara yang akhirnya berubah menjadi kebingungan?
Seandainya kita bisa menemukan wilayah yang ideal untuk membangun suatu kota, mungkin kita akan selalu bermimpi. Mimpi kita tidak akan pernah menjadi kenyataan karena masyarakat telah berada pada wilayah terawan di tanah air ini sebelum kita sempat bergerak untuk memberi solusi.

Masyarakat tentu mempunyai pilihan dimana harus tinggal dan melangsungkan hidupnya. Dan hak masyarakat juga untuk bertanggung jawab dengan semua resikonya. Kesedihan mereka mungkin akan membuat kita sedikit terharu, namun bukan sebuah alasan kita kembali memonopoli untuk mengatur hidup dan kehidupan masyarakat.

Adalah kemudian menjadi tugas pemerintah adalah mengayomi dan melindungi hak hidup masyarakat dengan mempertahankan originalitas pemikirannya. Kita yang mungkin tidak mengenal banyak tentang alam tidak bisa terus menuduh. Kita yang terus memandang hutan untuk tujuan ekonomi dan melakukan pengendalian eksploitasi dan perlindungan kawasan hutan yang sempit, apalagi tanpa memandang hak dasar masyarakat, seharusnya berkaca dan membenahi diri. Tunjukan bahwa kita bisa menciptakan rasa aman dengan kemampuan kita mengelola hutan. Dan tidak perlu berkelit dengan "warning" yang sudah sangat terlambat.

Kehutanan tidaklah mengurusi masalah perkotaan secara langsung namun adalah kewajiban kehutanan untuk melakukan pencegahan kerusakan, melestarikan produktifitas dan menciptakan interaksi yang positif antara alam melalui hutan secara harmonis dengan peri kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Apakah cerminan yang bisa didapatkan dari bencana ini bagi dunia kehutanan?

Beberapa hal seharusnya kembali difikirkan:

1. Apakah penataan batas kawasan telah mempertimbangkan aspek keselamatan masyarakat?
2. "Push" kelitbangan untuk memberikan solusi dan bukan sebagai sebuah lembaga pajangan dengan individu-individu yang lemah dalam memandang hutan dalam fungsi yang terintegrasi.
3. Ciptakan integrasi yang lebih produktif dan berkelanjutan dengan sektor pembangunan lain dalam mengelola hutan.
4. Kehutanan harus lebih terbuka dan berani bersuara dengan sederet solusi!

Sangat sentimentil jika kemudian dunia kehutanan menyatakan turut berduka cita meskipun sesungguhnya perasaan sentimentil tersebut adalah juga akan diiringi oleh rasa tanggung jawab. Tanggung jawab yang disertai perasaan bersalah bahwa kita tidak mampu mencegah bencana itu terjadi sejak dini dengan slogan-slogan ideal pembangunan kehutanan yang tertulis dalam dokumen-dokumen kehutanan. Semoga pembangunan kehutanan lebih maju.

28 Sep 2010

Hutan Versus Masyarakat

     Pengelolaan hutan yang tidak mengangkat kepentingan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitarnya sering menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada ketidaksalingpercayaan antar masyarakat dengan para pemangku hutan.  Konflik kepentingan yang berujung pada semakin rusaknya hutan secara tidak terkendali dan berlanjutnya penegakan-penegakan hukum yang tidak berkeadilan. 
       Dalam sekala keruangan hutan terpisah dari masyarakat.  Namun dalam sekala fungsi, hutan dapat berperan sebagai tempat masyarakat mencari sumber kehidupan, sebagai tempat masyarakat mendapatkan perlindungan dari bencana alam dan sebagai tempat masyarakat mengembangkan budayanya.  Hutan juga berfungsi strategis baik untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kehidupannya antar generasi.
     Mari kita lihat sisi mendasar pengelolaan hutan nasional, sebagai berikut: 

  1. Hutan sesungguhnya dikuasai oleh negara dan dilaksanakan pengelolaannya oleh instansi, pemerintah kelompok masyarakat atau  pengelola tertentu yang ditunjuk oleh negara melalui Menteri Kehutanan.

  2. Hutan merupakan benda publik yang diperuntukan untuk publik secara nasional dan bukan untuk satu golongan masyarakat tertentu atau satu kepentingan tertentu.

  3. Hutan terbagi dalam tiga fungsi utama dengan tiga tipe pengelolaan yang sangat berbeda meskipun berada pada wilayah keruangan yang berdekatan atau bahkan berada pada tipe sosial yang sama di suatu wilayah tertentu.
       Berdasarkan ketiga hal tersebut, dikotomi antara hutan dengan masyarakat bisa terjadi  jika terjadi benturan antara kepentingan masyarakat dengan kebijakan pengelolaan hutan nasional atau dengan kebijakan pengelolaan hutan di daerah menurut interpretasi masing-masing pengelola/pemangku hutan.
     Pemerintah mengelola hutan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau melimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten dan kepada swasta (perorangan atau kelompok yang berlembaga/berbadan hukum usaha tertentu).  Di luar semua pihak yang dimaksud tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai masyarakat secara khusus. Kelompok masyarakat ini cenderung dipersalahkan sebagai perambah hutan dan illegal logger.  Meskipun pada kenyataannya kerusakan hutan terbesar berada pada kawasan hutan produksi yang notabene dikelola oleh pihak berkelembagaan yang mendapatkan ijin resmi dari Menteri Kehutanan.
      Adalah kemudian dikenal beberapa istilah, diantaranya: Hutan Kemasyarakatan, Social Forestry, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Hutan Tanaman Rakyat yang mengangkat masyarakat tak berlembaga usaha menjadi masyarakat berlembaga sosial yang dapat turut serta dalam pengelolaan hutan nasional.  Langkah ini merupakan suatu langkah pengelolaan hutan yang lebih maju dan lebih berkerakyatan. 
      Secara teoritis tentunya praktek pembangunan kehutanan yang ada dewasa ini sudah cukup ideal. Namun kemudian mengapa pengelolaan hutan masih saja dibayang-bayangi oleh kerusakan dan kehilangan kawasan hutan dan mengapa masih terdapat anggapan bahwa masyarakat masih menjadi pihak yang terpinggirkan, tak diakui dan pihak yang dipersalahkan dengan adanya kerusakan hutan terbesar yang ada sekarang?
    Jawabannya terletak pada konsep keadilan pengelolaan hutan yang belum dapat diwujudkan.  Keadilan pengelolaan hutan seharusnya difahami sebagai bentuk keadilan terhadap hutan dan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang antar generasi.  Hutan memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan begitu juga dengan masyarakat yang kemudian dibedakan karena kepemilikan modal, keinstansian, kelembagaan usaha atau kelompok sosial tertentu.
     Keadilan terhadap hutan adalah bagaimana mengelola hutan yang lebih dekat dengan sifat alami ekosistem hutan itu sendiri. Hutan seharusnya tidak dimanipulasi hanya untuk menghasilkan suatu produk tertentu atau hanya untuk kepentingan tertentu dari sudut pandang tertentu, tetapi seharusnya hutan hanya dikendalikan dan dilengkapi kemampuannya dengan teknologi yang dimiliki pengelolanya. Hutan tumbuh dan berkembang kearah suksesi yang paling ideal dengan kondisi habitatnya.  Gangguan terhadap ekosistem hutan yang tidak terkendali akan mengarahkan suksesi alami hutan menuju pada keseimbangan yang mungkin akan membahayakan bagi manusia, meskipun bagi alam kondisi itulah yang paling ideal.   Hutan punya keputusan tersendiri dalam konteks keseimbangan alam sebagai mana juga manusia mempunyai keputusan.
       Di sisi lain, hutan bukanlah gudang utama kesejahteraan masyarakat yang sering dinilai dengan uang.  Hutan juga bukan lembaga sosial yang harus selalu bisa menjawab setiap permasalahan sosial masyarakat. Hutan juga bukan hanya milik manusia tetapi juga milik alam dalam menjaga keseimbangannya.  Dalam pengertian ini dari sisi manusia maka mengelola hutan bukanlah hanya untuk kepentingan manusia sesaat tetapi juga untuk menjaga susksesi alam kearah yang tidak mambayakan kehidupan manusia  di masa sekarang dan dimasa yang akan datang.  
      Keadilan yang dituntut oleh masyarakat terhadap hutan haruslah dilakukan setelah hak alam terhadap hutan dipenuhi karena sesungguhnya kita tidak mampu mengendalikan kemana dan seberapa cepat alam akan bergerak dengan kemampuan teknologi dan pengetahuan manusia yang hanya bisa lestari dengan diestafetkan secara baik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.  Ketika kebutuhan yang dituntut oleh manusia terhadap sumberdaya alam selalu tidak terbatas dan terus bertambah dengan semakin bertambahnya populasi manusia, maka hak alam dari hutan hanya akan dapat diberikan ketika kita mampu terlebih dahulu membatasi kebutuhan manusia.  Hak alam sesungguhnya akan berwujud jaminan dari alam akan rasa aman dari bencana, keberlanjutan budaya dan juga nilai uang yang akan dihasilkan dari hutan bagi manusia itu sendiri.  Disinilah sisi keadilan bagi hutan dan manusia.
      Hutan difahami secara nasional mempunyai fungsi lindung, konservasi dan fungsi produksi.  Namun hutan sesungguhnya tidak terdapat secara kompak namun tersebar dalam pulau-pulau.  Kesalahan fatal adalah dengan memandang bahwa ketiga fungsi hutan itu adalah langsung ditujukan untuk kepentingan nasional.  Dalam konteks kepentingan nasional kita akan mudah membagi hutan ke dalam kotak-kotak produksi, konservasi dan kotak lindung.  Hal ini menyebabkan dipatoknya jatah tebang secara nasional untuk mencapai target nasional.  Dan wilayah yang memberikan sumbangan pemasukan terbesar adalah akan lebih diperhatikan apalagi dengan ego sektoral pembangunan yang selalu menitik beratkan nilai pendapatan berupa uang bagi negara.
      Pembagian fungsi hutan seharusnya memandang hutan sebagai ekosistem utuh yang didalamnya mengandung fungsi lindung, konservasi dan produksi.  Seberapa besar fungsi tersebut lebih penting dari fungsi lainnya harus ditentukan per pulau, per ekosistem hutan dan tingkat kepentingan masyarakat terhadap hutan di suatu wilayah tertentu.  Setiap ekosistem hutan dibagi secara adil dengan kesadaran bersama untuk mewujudkan ketiga fungsi hutan tersebut.  Disinilah pentingnya dialog yang selesai dengan masyarakat yang merupakan kegiatan yang kadang tak pernah diperhatikan ketika orang-orang beruang, berilmu dan berjabatan tertentu memandang dirinya lebih mampu dan berkuasa terhadap hutan.  Disinilah kunci sesungguhnya memaknai keadilan bagi hutan dan masyarakat.  Hentikan kebodohan-kebodohan manusia beruang, berjabatan dan berilmu dalam memandang hutan dari sudut pandangnya semata.  Sering-seringlah berdialog dengan alam, dengan ekosistem hutan dan dengan masyarakat karena sesungguhnya hidup kita adalah seumur jagung dan uang, jabatan serta ilmu yang dihasilkan dari kesombongan hanya akan menjadi racun bagi generasi berikutnya yang semakin menjauhkan terwujudnya keadilan bagi hutan dan bagi masyarakat.  
      Hentikanlah berfikir adanya produk unggulan nasional dari hutan, teknologi unggulan nasional dari hutan atau kebijakan unggulan nasional untuk hutan.  Marilah kita hilangkan semua ide bodoh tersebut dan mulailah berfikir tentang produk unggulan ekosistem hutan dari suatu pulau, teknologi unggulan dari suatu ekosistem hutan tertentu dan kebijakan unggulan pengelolaan suatu ekosistem hutan tertentu.  Berhentilah menetapkan jatah tebang atau produk nasional, tetapi berfikirlah mengenai jatah tebang atau produk secara pulau dan secara ekosistem. Berhentilah untuk berfikir menyeragamkan secara nasional wujud keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Berfikirlah tentang konsep itu setelah masyarakat dengan kesadarannya terhadap fungsi-fungsi hutan menentukan peran apa yang terbaik untuk dirinya dan untuk hutannya.  Hentikan dikotomi antara hutan versus masyarakat karena sesungguhnya hutan adalah juga bagian dari ekosistem masyarakat sejak zaman nenek moyang bangsa ini ada.  Dan terakhir  hentikankanlah kebodohan kita untuk selalu mengambil keputusan tentang hutan, tetapi pertimbangkan bahwa hutan juga punya keputusan tersendiri dalam keseimbangan alam yang dipatuhinya.
             

      

20 Sep 2010

Memaknai Hutan dengan sebagai ilmu Tuhan

Beragam pengertian hutan dapat kita tentukan tergantung dari sudut pandang kita melihatnya atau para ahli yang merumuskannya.  Namun sesungguhnya hal yang paling sering kita lupakan adalah menganggap bahwa hutan sebagai objek di luar lingkungan manusia itu sendiri.  Hutan adalah bagian hidup kita namun hutan juga perlu hidup dan menentukan hidupnya dengan caranya sendiri seperti juga kita manusia yang dianugrahi akal dan hati untuk itu.  Hutan dapat berfungsi dan memberikan peranan pada peri kehidupan manusia ketika hutan juga dapat bertindak dan berkehendak untuk memberikan sesuatu kepada lingkungan manusia di dalam atau di sekitarnya.

Kita sesungguhnya telah gagal memaknai arti penting hutan.  Mari kita kembali menganggap bahwa hutan adalah suatu subyek yang hidup. Hutan tumbuh dan berkembang dengan cara alami yang paling ideal.  Adalah kemudian kita mengaturnya, menganggapnya benda bodoh yang mati padahal sesungguhnya pengetahuan tentang mereka hanya sebatas dipermukaan dan kemudian kita mempermudah pengetahuan kita dengan membuat penyederhanaan-penyederhanaan terhadap system yang ada dan berlangsung dalam hutan itu sendiri.

Tuhan menciptakan hutan dan sumberdaya alam lainnya untuk kesejahteraan manusia. Di dalam hutan terkandung ilmu Tuhan dan sesungguhnya kita harus mempelajari itu, sebelum terlampau jauh kita merusaknya.  Kehilangan hutan dan keragaman hayatinya akan berdampak buruk bagi kehidupan manusia sekarang dan di masa yang akan datang.  Namun hal terburuk yang telah kita lakukan adalah kita telah menginjak-injak ilmu Tuhan dan anugrah Tuhan yang justru telah dihadiahkan kepada manusia.

Dan bagaimana kemudian kita mewujudkan pemahaman baru tentang hutan tersebut? Mari kita berkaca pada nenek moyang kita yang sekarang kita sering menyebutnya suku terasing atau terbelakang.  Adalah suatu kearifan ketika mereka memulai membuka hutan dengan mengadakan penyembahan dengan semua kebesaran untuk menghormati alam dan hutan.  Tapi mari kita melihat bagaimana kemudian kita memulai membuka hutan sekarang? Yang kita bawa adalah catatan untung rugi pengusahaannya dan strategi-strategi jitu untuk mempertahankan keuntungan.  Apakah ada dari strategi itu untuk membangun hutan yang sebenarnya?  Dengan sangat menyesal saya katakan tidak ada! Apa yang ada dalam dokumen itu yang seolah-olah diperuntukan untuk membangun atau menyelamatkan hutan adalah sesungguhnya hanya coretan-coretan peringatan pemerintah agar mereka tidak rakus!

        Mari memaknai hutan dengan hati dan membuka pemikiran untuk dapat memahami hutan sebelum kita menganggapnya sebagai objek yang harus tunduk pada manusia.  Manusia diberikan hati dan akal, tapi sesungguhnya manusia sesuai kodratnya punya keterbatasan apalagi terhadap sebagian kecil ilmu Tuhan yang terdapat di dalam hutan.  Kehati-hatian, generalisasi pemikiran dan mengembangkan kebijakan hati dalam mengelola hutan itu sangat penting.  Karena pada dasarnya kebaikan manusia terhadap hutan akan kembali menjadi kebaikan kepada manusia itu sendiri.  Ayo membangun hutan dan bertanya pada hutan bagaimana cara membangunnya…

18 Sep 2010

Guyon ato serius?

Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan ke 3 terbesar pemilik penutupan hutan tropis dunia dengan persentase hutan terselamatkan sebesar 48,8% setelah Brazil dan D.R.Congo yang masing-masing mampu mempertahankan 57,2% dan 58,9%  luas penutupan hutannya. Namun, selama periode 1990-2005 Indonesia telah kehilangan 28.072.000 ha hutannya. Sangat memprihatinkan sesungguhnya bahwa negara-negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia hanya mampu mempertahankan penutupan hutannya tidak lebih dari 60% saja. Dan lebih memprihatinkan lagi bahwa luas total hutan tropis dunia, yang di dalamnya terkandung 50% keragaman hayati bumi, pada tahun 2005 tercatat hanya tersisa 43,5% saja (FAO, 2005).  Ironis juga terjadi yaitu pada kenyataannya negara pembabat hutan dengan potensi terkaya di bumi ini adalah negara-negara menengah ke bawah yang luasan hutannya sangat luar biasa, begitu juga dengan utang luar negerinya? 
Dalam skala nasional, selama periode 1997-2006, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah menyebabkan timbulnya lahan kritis seluas 59.170.700 ha di dalam kawasan hutan (76% dari luas kawasan hutan). Penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat mencapai 44.668,87 ha dan penebangan liar diperkirakan telah mengakibatkan kehilangan kayu  bulat ± 7.420,64 m3. Pada tingkat Daerah Aliran Sungai (DAS), hingga tahun 2006 kerusakan hutan dan lahan telah menyebabkan munculnya 60 DAS berkategori super kritis. Di lain pihak, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) hingga tahun 2006 hanya mampu merehabilitasi 743.591 ha (1,2% dari luas kawasan hutan kritis). Nilai tersebut jauh di bawah laju degradasi dan deforestasi sebesar 1,7 juta ha per tahun pada peride tahun 1997-2006 (Departemen Kehutanan, 2006).  Namun dengan bangga orang kehutanan mengatakan bahwa “laju” degradasi dan deforestasi hutan sekarang mulai menurun. Apa hal itu bukan disebabkan karena luas hutannya yang memang sudah mulai habis?
Orang kehutanan sudah faham bahwa secara alami hutan tropis Indonesia mempunyai keragaman ekosistem. Klasifikasi ekosistemnya pun cukup beragam di kalangan para pakar, diantaranya: Koppen, Schmidt dan Ferguson, Mohr dan Steenis. Pembagian-pembagian tersebut mengenalkan kita pada beragam ekosistem hutan, diantaranya yang cukup banyak dibicarakan secara kontroversial adalah hutan rawa gambut, hutan mangrove, hutan kerangas, hutan pinus, hutan hujan tropis dan hutan monsoon.  Namun demikian para pakar di Indonesia telah berhasil membagi hutan tidak lagi berdasarkan ekosistemnya tetapi berdasarkan fungsi, bentuk dan tujuan pemanfaatannya. Namun para pakar Indonesia tersebut tidak suka berdebat dan sangat luwes, jika adanya tekanan tertentu maka hutan itu dapat dialihfungsikan atau dilimpahkan saja pengelolaannya kepada pihak lain atau orang asing? 
Seorang profesor mengatakan bahwa sudah waktunya kita mengelola hutan lebih dekat dengan alam. Profesor lainnya mengatakan sudah seharusnya masyarakat menjadi subyek pengelola hutan. Sedikit menyindir, seorang profesor mengatakan bahwa telah terjadi salah persepsi bagaimana melibatkan masyarakat dalam mengelola hutan. Seorang profesor lain menyatakan bahwa keberhasilan pemuliaan hutan tidak bisa dicapai secara gegabah apalagi untuk mendukung pelestarian sumberdaya genetik. Profesor lainnya menyatakan bahwa tidak tepat jika hutan konservasi terfragmentasi dan pengelolaannya tidak berbasis lansekap. Sementara itu, agak sedikit menekankan, seorang profesor non kehutanan menyatakan bahwa orang kehutanan seperti terbius dengan ilmu canggih luar negeri dan tidak dapat memberikan bantahan ketika aplikasi ilmu tersebut untuk kondisi di Indonesia adalah tidak benar dan bahkan menyudutkan dunia kehutanan sendiri. Namun dengan ringan, seorang pakar statistik hanya berkomentar bahwa peneliti-peneliti kehutanan umumnya justru melakukan analisa statistik dalam penelitiannya dengan cara yang keliru?
Fakta demi fakta yang saya temui membuat saya sedikit malu menggunakan seragam dinas kehutanan dan saya memilih tidak memakainya apalagi ketika harus bertemu dengan masyarakat.  Begitu banyak janji manis mengatasnamakan kehutanan yang gagal di tingkat lapangan dan begitu banyak pendapat orang kehutanan sendiri yang sesungguhnya menunjukan dirinya bukan orang kehutanan tapi sebagai seorang pengusaha, penguasa, penterjemah, bodyguard atau seorang teknokrat super spesialis yang kadang dengan bangga muncul di media masa mengatakan bahwa teknologi menunjukan bahwa hutanku telah rusak atau jenis ini telah punah dan itu bukan salah orang kehutanan tapi salah masyarakat yang tidak mau diatur oleh orang kehutanan, lihatlah saya datang dengan membawa uang, mau..mau..mau?

14 Sep 2010

Kebingungan tentang Hutan dan Kehutanan

Saya sepakat bahwa hutan mempunyai beragam fungsi. Tapi saya sangat tidak sependapat jika kemudian hutan dibagi secara terkotak-kotak menurut fungsinya.  Jika cukup sulit bagi kita memahami dan mengelola beragam ekosistem hutan kenapa harus dipersulit lagi dengan mengkotak-kotakkan (membagi-bagi) hutan menurut fungsi utamanya bukan hanya berdasarkan ekosistemnya saja!"  llmu membagi (bagi-bagi agar semua kebagian, termasuk bagi-bagi keuntungan?) mungkin sangat mendarah daging di bumi ini daripada ilmu mengurangi (berempati) atau mengalikan/menambah (meningkatkan produktifitas). Secara sederhana sebenarnya saya hanya perlu membuat juknis bagaimana mengelola tiap ekosistem hutan yang ada agar tiap ekosistem hutan tersebut dapat memberikan perlindungan bagi manusia, produktif dan mempunyai nilai konservasi (perlindungan dan produksi jangka panjang) tanpa perlu membuat juknis induk pengkotakan hutan tersebut.  Tampaknya para pakar luar cukup bodoh dan kalah dengan para pakar hutan Indonesia yang berhasil menemukan bahwa ekosistem hutan itu sebenarnya tidak utuh tetapi terpecah-pecah dalam fungsi lindung, produksi dan konservasi!