22 Okt 2010

Agroforestri dan Silvikultur Hutan Nasional

Teknologi silvikultur dirumuskan secara seimbang dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan pendekatan-pendekatan kelestarian hutan dan lingkungan yang berada di suatu lokasi tertentu. Teknologi silvikultur akan berbeda seiring dengan dinamika kebijakan kehutanan pusat yang mempengaruhi teknologi silvikultur di tingkat unit pengelolaan dan tapak.

Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman termasuk tanaman pohon-pohonan dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (Permenhut No. P.7/Menhut-V/2007)

Sebagai sebuah model pengelolaan lahan, agroforestri mempunyai implikasi-implikasi positif dalam menjembatani kepentingan masyarakat terhadap hasil lahan jangka pendek dan keperluan pemenuhan produk hutan jangka panjang. Agroforestri juga mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan dan meningkatkan fungsi ekologis hutan.

Pengembangan Agroforestri di Indonesia dilaksanakan di dalam kawasan hutan dan lahan-lahan milik rakyat di luar kawasan hutan negara pada daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan Agroforestri dan daerah rawan pangan di Kabupaten/Kota. Agroforestri diwujudkan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Rakyat.

Beberapa implikasi terkait penerapan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur:

• Kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak/ikan, merupakan jembatan bagi pemenuhan berbagai kepentingan terkait penggunaan lahan.

• Pada skala unit lahan kelola pengaturan kombinasi jenis pada agroforestri dilakukan untuk memberikan solusi bagi berbagai permasalahan seperti menekan permasalahan sosial dan peningkatan produktifitas lahan.

• Kombinasi jenis pada sistem agroforestri dapat dilakukan pada sekala lansekap dimana pengaturan jenis dilakukan pada mozaik-mozaik. Masing-masing mozaik memiliki kerapatan dan fungsi tertentu. Kombinasi jenis seperti ini cukup efektif dalam meningkatkan kelestarian tumbuhan dan satwa disamping tetap meningkatkan produktifitas lahan-lahan pertanian di dalamnya.

Perlu menjadi bahan pemikiran bersama bahwa ketika masyarakat menjadi pengelola hutan dan teknologi agoforestry dijadikan sebagai teknologi silvikulturnya, maka beberapa hal perlu diperhatikan:

1. Nuansa ekonomi kerakyatan harus menjiwai pengelolaan hutan oleh masyarakat. Luas lahan kelola masyarakat perlu dibatasi baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Hasil kajian di Pulau Lombok menunjukan bahwa luasan 2 - 5 ha per orang adalah luasan optimal yang mampu dikelola oleh satu kepala keluarga yang memberikan keuntungan yang cukup menguntungkan secara ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sesuai keterbatasan kemampuan permodalan, teknologi dan tenaga kerja yang dimilikinya. Ketika masyarakat berkumpul dalam satu kelembagaan usaha, maka luasan total lahan kelola perlu dihitung berdasarkan luasan minimal dikalikan jumlah anggota kelompok. Ketika luasan lahan tidak dibatasi, maka akan membuka peluang masuknya para pemilik modal yang mengatasnamakan masyarakat dan masyarakat miskin akan kembali tersingkirkan. Nuansa ekonomi kerakyatan juga diwujudkan dengan pemantapan kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Adopsi pranata sosial dalam penerapan penghargaan, sangsi dan aturan-aturan pengelolaan lahan dan bagaimana masyarakat menumbuhkan usaha ekonominya perlu dilakukan.

2. Pembinaan kelembagaan lokal, pendampingan dan fasilitasi usaha perlu diberikan hingga pada suatu kondisi dimana masyarakat secara kelompok mampu mandiri mengelola hutan.

3. Input teknologi tepat guna perlu terus dikembangkan dan diintroduksikan dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat untuk mendukung peningkatan produktifitas lahan dan pendapatan masyarakat. Penggunaan bahan-bahan kimia dalam budidaya tanaman semusim sejauh mungkin dihindari. Pengembangan teknik-teknik konservasi tanah dan air yang mampu meningkatkan produktifitas lahan dan pendapatan petani pada tiap unit lahan kelola yang sempit dan dengan input biaya yang rendah perlu mendapatkan perhatian khusus.

4. Pengelolaan hutan oleh masyarakat sangat mungkin akan menyebabkan hutan terbagi dalam luasan-luasan kelola yang sangat sempit. Dengan demikian penataan setiap mozaik kecil lahan kelola perlu dilakukan untuk menekan seminimal mungkin fragmentasi hutan dalam sekala luas dan mengarahkan komposisi dan struktur jenis yang dikembangkan oleh masyarakat dalam batas yang mendukung kestabilan lahan dalam menahan erosi dan kelestarian siklus hidrologi dalam bentangan lahan yang luas.

5. Masyarakat sebagai pengelola hutan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan para pengelola hutan lain yang bergerak dalam skala besar. Berbagai aturan pengelolaan hutan perlu diterapkan. Dalam hal ini keharusan adanya areal konservasi, daerah perlindungan sumber-sumber air, perlindungan tebing, tata aturan terkait administrasi pemasaran, peredaran hasil hutan, perlindungan hutan dan aturan lainnya tetap diberlakukan. Penerapan hak dan kewajiban yang sama akan menumbuhkan profesionalisme pengelolaan hutan di tingkat petani yang bukan mustahil akan menjadi pendorong cikal bakal perubahan paradigma silvikultur hutan tropis nasional dari menekankan usaha dengan padat modal dan teknologi tinggi yang diadopsi dari sistem dan metode silvikultur negara-negara maju menuju paradigma baru pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang padat karya dan pro kemakmuran bagi rakyat.

Agroforestri sebagai sebuah solusi teknologi silvikultur perlu dirumuskan penerapannya terkait dengan telah dibukanya akses yang cukup besar bagi masyarakat secara kelompok untuk mengelola hutan secara langsung. Perlu kehati-hatian dalam menjadikan agroforestri sebagai sebuah teknologi silvikultur dalam hal mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan pengelolaan lahan oleh masyarakat, mengatasi rendahnya kesiapan masyarakat secara kelembagaan, ekonomi dan teknologi dalam pengelolaan hutan serta mengatasi tingginya peluang fragmentasi hutan dalam luasan yang lebih kecil.

Agroforestri sebagai teknologi silvikultur juga harus mampu menumbuhkan iklim yang sehat dalam berbagi keuntungan, tanggung jawab dan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui agroforestri seharusnya juga merupakan wujud perkuatan ekonomi nasional. Keseriusan semua pihak dalam pengembangan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur sangat penting untuk mewujudkan nilai-nilai lebih dan implikasi-implikasi positif penerapan teknologi agroforestri dalam pengelolaan hutan tropis di Indonesia.

Agroforestri membawa paradigma baru pengelolaan hutan dimana penumbuhan ekonomi masyarakat dan kelestarian hutan pada unit tapak akan memberikan dampak pada penumbuhan ekonomi dan kelestarian hutan secara nasional. Paradigma ini menggantikan paradigma lama pengelolaan hutan nasional yang menekankan pertumbuhan yang pesat dari usaha sekala besar untuk membantu tumbuhnya usaha-usaha sekala kecil. Pertanyaan besar apakah paradigma baru tersebut akan lebih berhasil daripada paradigma lama yang terbukti memiliki banyak kelemahan? Keseriusan dalam menjadikan agroforestri sebagai suatu solusi teknologi silvikultur nasional akan menjadi kunci keberhasilan implementasinya.

21 Okt 2010

Keragaman Genetik dan Basis Pengendalian Hama Hutan Terpadu

Beberapa hal perlu diperhatikan sehubungan dengan pengendalian hama hutan terpadu, sebagai berikut:

1. Hama merupakan istilah yang rancu dan tidak relevan diangkat apabila kita memandang hutan sebagai suatu ekosistem alam. Organisme yang dikenal sebagai hama pada dasarnya merupakan komponen biotik penyusun ekosistem hutan. Setiap komponen penyusun ekosistem mempunyai peran dan fungsi masing-masing dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan menjadi bagian penting dari pergeseran keseimbangan ekosistem hutan menunju keseimbangan baru sebagai respon terhadap dinamisasi lingkungan yang mempengaruhinya.

2. Istilah hama muncul dari sisi kepentingan manusia. Istilah hama hutan akan relevan dibahas ketika hutan berada dalam pengelolaan manusia yang mengendalikan, membangun, memelihara dan memanfaatkannya untuk kepentingan manusia dan keberadaan organisme atau agensia biotik tersebut memberikan dampak buruk terhadap keberhasilan pengelolaan yang dilakukan oleh manusia tersebut.

3. Keseimbangan ekosistem hutan dalam fungsi-fungsinya menjadi landasan utama ketika suatu organisme atau agensia biotik disebut sebagai hama hutan. Orangutan, babi hutan, burung, serangga, bakteri atau jamur yang mengganggu tanaman budidaya tidak serta merta dianggap hama ketika justifikasi ilmiah keseimbangan hutan menetapkan bahwa populasi organisme atau agensia biotik tersebut masih berada dalam kisaran normal alami fungsi hutan dan manusia justru bisa dipersalahkan karena mengganggu keseimbangan ekosistem hutan yang harus dijaganya.

4. Untuk menghindari kerancuan makna, maka yang dimaksud hama hutan dalam tulisan ini hanyalah mencakup organisme atau agensia biotik pengganggu pada suatu tegakan berupa serangga atau jasad renik yang populasinya sangat besar dan tidak terkendali yang sangat merugikan secara ekonomi dan menimbulkan kerusakan yang besar terhadap fisik tegakan yang dibangun

Keragaman genetik dan ukuran populasi memegang peranan penting terhadap daya tahan tumbuhan terhadap hama atau gangguan lain yang diterimanya. Pertanyaan yang perlu dijawab terkait hal tersebut dalam kaitannya dengan pengendalian hama hutan terpadu adalah:

1.Sejauhmana keragaman genetik dan ukuran populasi mampu meningkatkan daya tahan tumbuhan terhadap serangan hama?

2.Bagaimana mempertahankan keragaman genetik dan populasi tumbuhan agar tahan terhadap gangguan hama atau perubahan lingkungan yang dilakukan dalam pengelolaan tegakan?

Tumbuhan berbeda dengan satwa dalam hal respon terhadap stress lingkungan yang diterima tidak dapat dihindarkan dengan mekanisme pergerakan/perpindahan tempat. Serangkaian respon fisik, fenotifik dan hormonal dilakukan oleh tumbuhan untuk mengatasi stress yang diterimanya. Setiap respon tumbuhan terhadap lingkungannya ditentukan oleh gen-gen yang diwarisi dari tetuanya dan interaksinya dengan faktor lingkungan. Toleransi dan adaptasi tumbuhan terhadap stres sangat menentukan apakah respon yang dilakukannya dapat menyebabkan tumbuhan pulih, bertahan, mengalami gangguan serius atau mati.

Seleksi, migrasi, hibridisasi dan mutasi gen sebagai pengaruh dari lingkungannya sangat menentukan munculnya karakteristik-karakteristik khas suatu individu pohon. Pada rentang ruang dan waktu, dinamisasi genetik menyebabkan terjadinya keragaman genetik yang berbeda antar jenis, dalam satu jenis di dalam populasi dan antar populasinya. Keragaman genetik menurut ruang dan waktu tersebut sangat dipengaruhi oleh luas persebaran, lama tumbuh, polinator dan sistem breeding yang dikembangkan oleh suatu jenis tumbuhan.

Kajian tentang keragaman genetik merupakan kajian yang sangat rumit mengingat bahwa keragaman genetik tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat besar, bahkan di dalam satu individu, terlebih lagi apabila yang dibicarakan adalah pada tingkat populasi, komunitas hingga meliputi satu ekosistem. Bahkan untuk menentukan struktur genetik apa yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan respon tumbuhan terhadap stress masih menjadi tantangan untuk dipecahkan.

Penelusuran seluruh sifat genetik tumbuhan untuk mengetahui hubungannya dengan karakteristik khusus tumbuhan masih merupakan kegiatan yang sangat besar, membutuhkan waktu yang lama dan pendanaan yang sangat besar. Namun setidaknya bahwa adanya indikasi kontrol genetik yang signifikan mempengaruhi karakteristik kelurusan batang, aktifitas phytohormon tertentu, kerapatan kayu, peningkatan hasil tanaman pertanian dan ketahanan tumbuhan terhadap hama memberikan pengetahuan yang sangat penting dan bahwa semua karakteristik genetik tersebut diwariskan terhadap keturunannya perlu dijadikan landasan dalam pengelolaan keragaman genetik suatu jenis, populasi atau komunitas dalam jangka panjang.

Dalam jangka panjang, dinamisasi alam memegang peranan penting terhadap terjadinya seleksi genetik di dalam dan antar populasi tumbuhan. Hanya jenis yang mempunyai karakteristik khusus sebagai representasi genetiknya yang lebih mampu beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya yang akan mampu bertahan dari kepunahan. Pohon-pohon yang secara alami dominan di suatu lokasi dapat dijadikan indikator bahwa karakteristik genetik pohon-pohon tersebut paling sesuai dan paling menguntungkan terhadap kondisi lingkungan di lokasi tersebut. Meskipun seleksi tersebut mengarah pada terjadinya penurunan keragaman genetik suatu populasi tumbuhan, namun proses seleksi yang dilakukan dalam rentang waktu yang lama menyebabkan tumbuhan masih mampu mengembangkan adaptasi morfologis maupun fenotifis secara baik yang mampu memperlambat laju kepunahan alaminya.

Isu penting terkait keragaman genetik suatu populasi dalam hubungannya dengan ketahanan tumbuhan di alam yang mempengaruhi kepunahannya adalah telah terjadinya penurunan keragaman genetik dan tingginya kerentanan kepunahan pada populasi-populasi kecil. Hilangnya habitat, introduksi jenis, eksploitasi berlebihan dan pencemaran yang terbesar dilakukan oleh manusia memberikan sumbangan terbesar terhadap laju kepunahan jenis di alam. Sementara itu, peranan manusia dalam melakukan fragmentasi populasi, bencana alam, demografi dan karakteristik genetik dalam populasi kecil meningkatkan resiko kepunahan dalam populasi kecil.

Seleksi antar jenis, seleksi dalam suatu populasi dan antar populasi yang sering dilakukan manusia dalam mencari jenis-jenis unggul sangat penting untuk dicermati. Jenis-jenis dengan karakteristik yang relatif homogen dan hanya mempunyai satu atau beberapa karakteristik yang sesuai dengan keinginan manusia yang umum ditolerir keberadaannya. Seleksi antar jenis kadang tidak cukup untuk memenuhi keinginan manusia, sehingga seleksi dilakukan manusia pada tingkat yang leibh tinggi yaitu tingkat komunitas hingga ekosistem. Seleksi tingkat komunitas dicirikan oleh adanya manipulasi lingkungan fisik dan biotik untuk mendukung kepentingan jenis-jenis eksotik tertentu. Seleksi pada tingkat ekosistem jauh lebih berbahaya lagi. Contoh yang paling nyata seleksi seperti ini adalah dengan perubahan ekosistem hutan gambut menjadi ekosistem baru untuk kegiatan budidaya tanaman pertanian.

Selain penurunan keragaman genetik, fragmentasi habitat yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan produksi pertanian dan pemukiman dalam skala luas cukup penting pula untuk dikemukakan. Fragmentasi habitat telah menyebabkan terisolasinya populasi dalam luasan-luasan kecil. Kerentanan populasi kecil tersebut bersumber dari tingginya depresi inbreeding (perkawinan kerabat) yang memunculkan individu-indivu resesif dan menghasilkan individu-individu yang memiliki rentang toleransi dan adaptasi yang rendah terkait rendahnya warisan genetik yang mampu dikembangkannya. Pada populasi seperti ini, dengan perubahan yang lebih sedikit pada alam akan menyebakan resiko kepunahan yang tinggi.

Berdasarkan hal tersebut, maka pengendalian hama hutan berbasis keragaman genetik dilakukan melalu empat cara, yaitu:

1. manipulasi jangka pendek terhadap setiap komponen penyusun ekosistem untuk meningkatkan kesehatan dan ketahanan tumbuhan terhadap hama serta untuk memanipulasi komponennya untuk mengendalikan populasi hama;

2. fasilitasi jangka panjang bagi terjadinya peningkatan keragaman genetik jenis-jenis varietas unggul menghadapi beragamanya pemunculan hama baik jenis maupun biotipenya;

3. fasilitasi terbangunnya areal konservasi genetik bagi jenis-jenis yang dibudidayakan secara monokultur sehingga rekayasa genetik tidak dilakukan melalui mutasi genetik tetapi lebih kepada persilangan antar kerabat sehingga peningkatan ketahanan secara genetik seiring dengan minimalnya efek kerugian jangka panjang secara genetik. Kerugian jangka panjang yang dimaksud adalah meningkatnya jenis-jenis tidak fertile, resesif, sangat homogen secara genetik dan hilangya keragaman genetik dalam galur murninya. Kerugian tersebut menyebabkan secara genetik populasi tersebut sangat rentan dan dibutuhkan pengelolaan yang sangat intensif yang mungkin tidak bisa dilakukan dengan masih rendahnya pemahaman manusia terhadap struktur genetik dan pengaruhnya terhadap ketahanan tumbuhan dalam populasinya.

4. mengurangi laju kerusakan hutan, fragmentasi habitat, pencemaran, seleksi jenis yang berlebihan dan itroduksi jenis-jenis eksotik melalui serangkaian regulasi yang berlaku secara nasional maupun ditingkat tapak, pembuatan standarisasi dan panduan-panduan, pengembangan dan penggalangan dana bagi riset-riset terkait serta pembangunan lembaga yang kompeten untuk mengawasinya.

Basis keragaman genetik perlu dipertimbangkan dalam perumusan metode perlindungan hama hutan secara terpadu. Meskipun dalam jangka pendek basis genetik dapat ditujukan untuk melakukan perekayasaan genetik untuk menghasilkan jenis-jenis unggul tahan hama, namun tujuan jangka panjang pengendalian hama yang lebih ramah lingkungan dan menekan terjadinya kepunahan jenis di habitat alami dan buatan merupakan titik penting penerapan basis keragaman genetik dalam perlindungan hama.

Kelestarian keragaman genetik adalah kelestarian aset nilai ekonomi dan lingkungan jangka panjang. Pertumbuhan penduduk terus meningkat seiring dengan tingginya kehilangan keragaman genetik dan semakin meningkatnya potensi serangan hama terhadap hutan. Maka sangat beretika ketika kita mengelola alam bukan hanya secara produksi tetapi jauh mengelola pada unsur sangat mikro dari suatu jenis yaitu pada tataran gen untuk kelestarian jenis dan kepentingan jangka panjang umat manusia itu sendiri.

Kepunahan jenis terjadi secara alami dan tidak seharusnya manusia mempercepatnya kealfaan atau dengan tindakan-tindakan tidak bertanggung jawab. Dengan demikian penggalian potensi, pengembangan dan pelestarian keragaman genetik sangat penting dan pelu dilakukan. Gangguan alam berupa serangan hama mungkin hanya merupakan satu dari banyak indikasi bahwa alam sendiri telah dikelola secara arif dan keseimbangan ekosistem telah dimanipulasi pada tingkat yang membahayakan baik bagi kelestarian jenis maupun bagi keberlanjutan kehidupan umat manusia itu sendiri.

Penggalian potensi, pengembangan dan pelestarian keragaman genetik tidaklah mudah, sederhana, sempit dan murah untuk dilakukan. Maka pelibatan semua unsur terkait dalam penggalangan dukungan pendanaan, kepedulian, pelaksanaan program, monitoring dan perlindungan hukum dalam kerangkan kelestarian keragaman genetik perlu dilakukan sebelum pada kenyataannya suatu jenis sesungguhnya telah punah secara genetik sebelum manusia menyadarinya.

NB. Disarikan dari berbagai referensi terkait.

Memupus Ketidakpercayaan Masyarakat terhadap Pembangunan Kehutanan?

Ketidakpercayaan masyarakat terhadap dunia kehutanan bukan merupakan wujud kegagalan pengelolaan hutan nasional akan tetapi lebih disebabkan resultante permasalahan lintas sektor yang dipicu oleh adanya kerusakan hutan dan lahan yang sangat besar, timbulnya bencana alam yang distimulir oleh kerusakan hutan dan lahan serta tindakan tidak bertanggung jawab “oknum-oknum” penjahat lingkungan dalam mengelola hutan. Ketidakpercayaan akan menghasilkan anarkhisme, benturan kepentingan dan langkah-langkah kontra produktif terhadap keberhasilan pembangunan kehutanan nasional.

Memutus rantai ketidakpercayaan yang membelenggu pengelolaan hutan nasional bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Ketidakpercayaan muncul sebagai rangkaian pengalaman sosial masyarakat yang buruk di masa lalu dan terus berkembang hingga sekarang. Memutus rantai ketidakpercayaan harus dilakukan secara terintegrasi dan bukan hanya dilakukan melalui solusi sektoral dunia kehutanan semata.

Memutus rantai ketidakpercayaan terhadap pembangunan kehutanan nasional perlu diawali dengan introspeksi bahwa dunia kehutanan sendiri memiliki banyak kelemahan dalam pengelolaan hutan. Memutus rantai ketidakpercayaan juga perlu dilakukan secara terpadu dengan reposisi yang tepat terhadap center of excellent pengelolaan hutan, penegakan hukum dan sangsi moral terhadap para penjahat lingkungan serta pengembangan solusi praktis mengatasi tingginya kerusakan hutan dan lahan serta kemiskinan masyarakat sekitar hutan.

Reorientasi pengelolaan hutan perlu dilakukan sebagai bagian dinamisasi pembangunan kehutanan. Reorientasi pengelolaan hutan setidaknya dilakukan dalam empat hal utama, yaitu:

1) Mengembangkan sikap rasional dalam memenuhi tuntutan sosial, ekonomi dan lingkungan;
2) Menghilangkan ketidakadilan dan kesenjangan sosial dan ekonomi dalam pembangunan kehutanan melalui pemberian akses kepada masyarakat untuk turut serta secara aktif dan berbagi keuntungan dalam pengelolaan hutan nasional;
3) Menumbuhkan tanggung jawab bersama pengelolaan hutan nasional; dan
4) Membuka diri dalam konsep maupun aplikasi dan menumbuhkan profesionalisme dalam diri dunia kehutanan itu sendiri, dalam diri masyarakat dan dalam diri sektor-sektor non kehutanan yang aktifitasnya mulai merambah pada tataran kewenangan dunia kehutanan. Profesionalisme kehutanan adalah wujud dari tanggung jawab dan kemampuan para pengelola, pejabat, masyarakat secara luas dan para praktisi kehutanan dalam melestarikan hutan dan meningkatkan kemakmuran rakyat.

13 Okt 2010

Kehutanan Akhirnya Mulai Bersuara

Sungguh menarik berita di salah satu situs berita online tertanggal 12/10 2010 yang mengangkat ucapan Pak Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan: "Wasior tidak cocok menjadi Kota,direncanakan akan direlokasi. Tidak boleh ada pemukiman padat, topografi seperti itu."

Apa yang menarik adalah bahwa pemahaman tentang alam telah masuk menjadi suatu pemikiran praktis para pejabat. Hal ini telah sejak lama terjadi, meskipun dengan implementasi yang terus dipertanyakan, namun dengan kejadian tersebut kita tidak lagi perlu berdebat berkepanjangan tentang bukti dan siapa yang bertanggung jawab. Kitalah yang salah dengan tidak memperhitungkan alam dimana kita berada dan dengan tanggung jawab bersamalah bencana tersebut dapat ditanggulangi.

Namun hal menarik pula untuk disimak dalam pemberitaan tersebut bahwa diakhir beritanya disebutkan bahwa: "Meski demikian, pihaknya belum mengetahui tempat yang cocok bagi relokasi Wasior. Perlu penelitian secara mendalam agar didapat lokasi yang cocok. Harus dibicarakan lebih lanjut, perlu kunjungan dan tinjauan jangan memindahkan masalah."

Suara yang akhirnya berubah menjadi kebingungan?
Seandainya kita bisa menemukan wilayah yang ideal untuk membangun suatu kota, mungkin kita akan selalu bermimpi. Mimpi kita tidak akan pernah menjadi kenyataan karena masyarakat telah berada pada wilayah terawan di tanah air ini sebelum kita sempat bergerak untuk memberi solusi.

Masyarakat tentu mempunyai pilihan dimana harus tinggal dan melangsungkan hidupnya. Dan hak masyarakat juga untuk bertanggung jawab dengan semua resikonya. Kesedihan mereka mungkin akan membuat kita sedikit terharu, namun bukan sebuah alasan kita kembali memonopoli untuk mengatur hidup dan kehidupan masyarakat.

Adalah kemudian menjadi tugas pemerintah adalah mengayomi dan melindungi hak hidup masyarakat dengan mempertahankan originalitas pemikirannya. Kita yang mungkin tidak mengenal banyak tentang alam tidak bisa terus menuduh. Kita yang terus memandang hutan untuk tujuan ekonomi dan melakukan pengendalian eksploitasi dan perlindungan kawasan hutan yang sempit, apalagi tanpa memandang hak dasar masyarakat, seharusnya berkaca dan membenahi diri. Tunjukan bahwa kita bisa menciptakan rasa aman dengan kemampuan kita mengelola hutan. Dan tidak perlu berkelit dengan "warning" yang sudah sangat terlambat.

Kehutanan tidaklah mengurusi masalah perkotaan secara langsung namun adalah kewajiban kehutanan untuk melakukan pencegahan kerusakan, melestarikan produktifitas dan menciptakan interaksi yang positif antara alam melalui hutan secara harmonis dengan peri kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Apakah cerminan yang bisa didapatkan dari bencana ini bagi dunia kehutanan?

Beberapa hal seharusnya kembali difikirkan:

1. Apakah penataan batas kawasan telah mempertimbangkan aspek keselamatan masyarakat?
2. "Push" kelitbangan untuk memberikan solusi dan bukan sebagai sebuah lembaga pajangan dengan individu-individu yang lemah dalam memandang hutan dalam fungsi yang terintegrasi.
3. Ciptakan integrasi yang lebih produktif dan berkelanjutan dengan sektor pembangunan lain dalam mengelola hutan.
4. Kehutanan harus lebih terbuka dan berani bersuara dengan sederet solusi!

Sangat sentimentil jika kemudian dunia kehutanan menyatakan turut berduka cita meskipun sesungguhnya perasaan sentimentil tersebut adalah juga akan diiringi oleh rasa tanggung jawab. Tanggung jawab yang disertai perasaan bersalah bahwa kita tidak mampu mencegah bencana itu terjadi sejak dini dengan slogan-slogan ideal pembangunan kehutanan yang tertulis dalam dokumen-dokumen kehutanan. Semoga pembangunan kehutanan lebih maju.