31 Jul 2011

Statistika untuk Data Survey Multi-level

Analisa statistik merupakan sebuah alat yang cukup ampuh dalam meningkatkan validitas hasil studi dan memberikan kepercayaan pada tingkat tertentu yang diharapkan agar kesimpulan-kesimpulan yang dibuat dari data layak untuk dipertimbangkan kebenarannya.

Penelitian bertipe survey adalah penelitian yang cukup banyak dilakukan salah satunya untuk mengetahui fenomena alam dan menarik kesimpulan dari kejadian-kejadian alam tertentu baik dalam skala keruangan maupun skala rentang waktu tertentu. Pada perkembangannya, penelitian bertipe survey mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang cukup pelik, hal tersebut terkait kenyataan bahwa fenomena alam itu sesungguhnya sangat kompleks dan penyederhanaan sistem alam pada beberapa kondisi menyebabkan penafsiran terhadap penomena alam menjadi keliru.

Analisa data survey paling sederhana dilakukan melalui uji korelasi antar 2 atau lebih variabel untuk melihat hubungan yang positif atau negatif yang terjadi antar variabel tersebut. Namun kelemahan dari uji ini adalah tidak dapat diketahuinya saling keterkaitan antar variabel ketika nilai satu variabel itu naik atau turun terhadap kenaikan dan penurunan nilai variabel lainnya. Bahwa terjadi sinergis/kontradiktif hubungan antar variabel di alam, itu dapat terlihat, namun hal ini perlu pengujian terlebih dahulu apakah distribusi data survey itu normal atau tidak, mengingat uji ini pada dasarnya mengasumsikan distribusi data yang normal.

Regresi merupakan metode analisa yang lebih berkembang daripada hanya sekedar pengujian korelasi. Melalui regresi dapat diketahui perubahan-perubahan nilai variabel terhadap variabel lainnya yang memberikan pengaruh perubahan terhadap nilai respon. Jika dasar uji adalah nilai tengah sampel, maka perubahan nilai tersebut adalah perubahan terhadap nilai tengah responnya.

Sebuah asumsi yang keliru umumnya dibuat bahwa semakin banyak variabel yang dimasukan dalam suatu persamaan regresi, maka semakin tinggi nilai R-square dari model dan semakin tinggi nilai signifikansinya. Bayangkan jika kita mempunyai 30 unit sampel dan kita masukan 30 variabel bebas maka regresi yang dibuat akan mempunyai nilai R-square yang mendekatai 100%! Kenyataan tersebut adalah benar, namun "useless" dalam menggunakan uji regresi!

Kepentingan utama kita dalam menggunakan uji-uji statistik adalah untuk mengetahui variabel-variabel utama yang menyebabkan suatu fenomena/perlakuan memberikan suatu nilai tertentu yang berguna dalam mengambil sebuah kesimpulan. Jika variabel cukup banyak dan kita sendiri menjadi bingung menarik kesimpulan dengan kehadiran variabel-variabel tersebut, maka statistika "means nothing" telah kita gunakan. Pemilihan variabel-variabel utama tersebut merupakan kunci penting uji statistik.

Selain mendapatkan variabel-variabel utama, hal lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah uji statistik dilakukan terhadap sampel data. Sampel data berasal dari suatu populasi. Dengan kondisi tersebut, sangat penting untuk diyakinkan bahwa sampel-sampel yang kita ambil mewakili populasi yang akan diduga. Jangan sampai terjadi bahwa pengujian yang kita lakukan hanyalah menerangkan sampel tetapi tidak bisa menerangkan populasi, sehingga kesimpulan yang dibuat terhadap fenomena alam (populasi) tidak valid. Dalam kegiatan survey semakin banyak sampel data baik diambil secara acak maupun terstratifikasi, semakin kita mendekati kondisi populasi.

Setelah kita yakin bahwa sampel-sampel yang kita punya mewakili kondisi populasi, maka langkah pengujian statistik untuk data survey cukup valid untuk dilakukan.
Selain mengetahui hubungan (dengan uji korelasi), beberapa uji terkait data survey diantaranya adalah uji beda, uji pengaruh, uji peringkat dll. Namun perlu diperhatikan bawha uji-uji tersebut berbeda dengan pemahaman hasil yang dilakukan melalui suatu design experiment.

Hal yang sangat krusial untuk diperhatikan adalah bahwa di alam tidak dapat ditemukan suatu kondisi yang benar-benar homogen. Sehingga istilah ulangan yang digunakan dalam design experiment maknanya berbeda dengan istilah yang digunakan dalam suatu penelitian menggunakan metode survey. Ulangan yang mungkin dilakukan dalam metode penelitian survey adalah ulangan pengukuran (repeated measurement), sementara itu dalam design experiment yang dimaksud ulangan adalah plot-plot penelitian yang didalamnya terdapat titik-titik pengamatan yang akan diamati pada waktu pengukuran tertentu dan pengukurannya dilakukan secara berulang. Plot-plot penelitian tersebut tidak dapat dibuat melalui survey karena homogenitas yang dicermikan oleh plot tersebut tidak dapat dibuat di alam.

Dalam survey, yang disebut ulangan biasanya merujuk pada jumlah responden atau jumlah titik pengamatan tertentu di alam. Pengukuran berulang (mis. bulanan, semesteran atau tahunan) terhadap responden atau titik-titik pengamatan tertentu inilah yang disebut sebagai metode survey dengan repeated measurement.

Multi-level data dalam kegiatan survey terjadi pada survey dengan repeated measurement. Dalam teknik ini maka suatu nilai data adalah merupakan kumpulan nilai dari satu responden/titik pengamatan dalam suatu komunitas/kondisi lahan tertentu, sementara itu itu komunitas-komunitas/kondisi-kondisi lahan secara akumulasi menggabungkan nilai-nilai data individu kedalam suatu data populasi.

Pengujian korelasi dari multi-level data ini dilakukan secara bertingkat pada level komunitas, kemudian komunitas dalam populasi. Namun demikian pengujian statistik, diantaranya dengan dasar korelasi, lebih lanjut seperti pengujian regresi akan mendapatkan permasalahan cukup besar karena multi-level data akan memberikan nilai autokorelasi data yang besar yang tidak dapat diakomodir oleh analisa regresi "tradisional".

Korelasi dan regresi adalah metode uji yang biasa digunakan untuk analisa data survey. Kedua uji statistik tersebut umumnya dianggap sederhana dan paling mudah untuk digunakan terkait data survey. Namun, fikirkan kembali pemahaman seperti itu!
Pengujian korelasi dan regresi tidak semudah yang dibayangkan. Kompleksitas kondisi/fenomena alam menyebabkan kesulitan tersendiri untuk menentukan variabel-variabel mana yang penting untuk diperhatikan! Validitas, keterwakilan data terhadap populasi dan pemilihan uji-uji penunjang yang benar sangat penting untuk diperhatikan.

Kembali ke multi-level data. Misalkan kita mempunyai 30 desa untuk diamati pendapatan petaninya dan dari masing-masing desa kita ambil 30 petani sebagai responden,bagaimana kita mengujinya? Perlu diperhatikan pengujian dengan regresi "regresi tradisional" untuk mengetahui variabel-variabel yang mempengaruhi pendapatan petani secara populasi (misalnya dalam satu kecamatan) akan mendapat kendala dengan autokorelasi yang tinggi, karena pada dasarnya data akan terkluster kedalam desa, dimana data dalam satu desa sangat ditentukan oleh kondisi alam di desa tersebut dan akan disebut independen jika dibandingkan dengan nilainya dengan desa lainnya. Menggunakan regresi tradisional akan menyebabkan outlier yang terdeteksi sangat besar! Kita akan mengasumsikan banyak data tak berguna, padahal data yang kita ambil adalah benar-benar hasil survey yang sesungguhnya layak untuk diuji!

Kondisi tersebut umumnya dijembatani dengan merata-ratakan nilai dalam satu desa dan kemudian meregresikan nilai rata-rata desa-desa tersebut. Nilai-nilai yang overlap antar desa dihilangkan (sebagai outlier) untuk mempertahankan independency data. Uji regresi tersebut benar ketika distribusi rata-rata desa-desa tersebut mengikuti distribusi normal, bila distribusi mengikuti distribusi selain normal maka pengujian regresi baik binom, logistik, lognormal menggunakan GLM (Generalized Linear Model) dapat menjadi uji alternatif dalam regresi.

Sesungguhnya multi-level data tidak perlu diuji dengan pengujian yang menekankan normalitas dan independency yang demikian ketat apalagi jika kemudian memberikan kenyataan outlier yang besar. Beberapa uji sederhana dapat dilakukan misalnya dengan PCA (Principal Component Analysis), CA (Correspondence Analysis), CCA (Canonical Correspondence Analysis) atau metode uji lainnya. Sementara itu pengujian menggunakan regresi untuk multi-level data dapat dilakukan secara baik tanpa menghilangkan unsur pengelompokan data yang terjadi yaitu menggunakan GEE (Generalized Estimating Equation).

Namun satu hal yang paling penting dalam penggunaan analisa data survey adalah kejelian peneliti dalam melihat keunikan atau trend yang terjadi dari fenomena-fenomena alam. Pemahaman tersebut sangat perlu ditunjang oleh pemahaman teori yang memadai. Uji-uji statistik tidak dapat dilakukan pada semua fenomena alam, dan uji-uji statistik ditujukan untuk mengetahui variabel-variabel utama. Bagaimana kita menentukan variabel-variabel yang penting untuk diuji menggunakan statistika?

Disinilah kejelian dan pemahaman teori diperlukan. Bahkan dalam menarik kesimpulan, suatu hasil uji akan membutuhkan penjelasan-penjelasan yang cukup kompleks mengapa suatu variabel tersebut berhubungan/berpengaruh terhadap suatu nilai respon (fenomena) yang kita amati.

Demikian sedikit ulasan tentang statistika untuk multi-level data survey. Jangan pernah menyederhanakan fenomena alam. Alam itu kompleks dan semakin kompleks kita berfikir tentang alam, maka semakin kita bisa mendekati alam.

16 Mei 2011

Melihat Secara Mudah Standar Normal Hutan: Vegetasi

Sekali lagi menjadi pertanyaan, apakah itu populasi normal? Populasi normal adalah suatu kondisi dimana populasi tetap terjaga baik struktur maupun keragaman jenisnya sedemikian rupa sehingga kondisi tersebut tetap menjamin kelestarian jenis dalam waktu yang cukup lama. Berapa lama kelestarian jenis akan terjamin? Di sinilah pentingnya kita berbicara apakah populasi tetap berada dalam trend yang normal atau tidak. Selama populasi dalam kondisi normal maka kita dapat mengatakan bahwa kelestarian jenis akan lebih terjamin, meskipun pada kenyataannya populasi terus membentuk kurva normal yang semakin menyusut.

Dalam pemisalan sederhana, anggaplah vegetasi ditentukan oleh kondisi tanah dan iklim seperti pada pemahaman teoritis dan hutan terdiri atas vegetasi tertentu yang akan dibuat standar normalnya. Pembentukan standar normal populasi hutan berdasarkan vegetasinya, sebagai berikut:

Vegetasi akan mampu beregenerasi dengan baik apabila struktur umurnya membentuk suatu kurva yang mengerucut. Kelas umur terendah berada pada bagian bawah kurva dengan jumlah yang lebih besar dan sebaliknya kelas umur yang lebih tinggi berada pada bagian kurva lebih tinggi dengan jumlah individu yang lebih sedikit. Dengan adanya kurva tersebut maka populasi dapat melakukan regenerasi secara baik. Normalitas dalam kondisi seperti ini adalah tetap mempertahankan bahwa struktur umur tersebut tetap mengerucut selama mungkin.

Perubahan pada kondisi tanah adalah indikator penting yang menentukan adaptasi dan regenerasi jenis, begitu pula dengan kondisi iklim. Pada kondisi tanah yang kritis maka tumbuhan mempunyai adaptasi yang semakin rendah begitu pula dengan kemampuan menghasilkan buah dari vegetasi tersebut. Kondisi ketersediaan hara dan nutrisi tanah merupakan faktor yang penting untuk dipantau. Perubahan iklim juga memberikan dampak penting. Faktor cahaya atau suhu yang berdampak pada kerawanan kegagalan pembungaan dan kebakaran merupakan faktor penting bagi regenerasi vegetasi.

Pada kenyataannya tidak ada yang sulit dalam melakukan berbagai jenis analisa statistik untuk menentukan apakah populasi akan tetap normal atau tidak. Bahkan ketika normalitas tidak ditunjukan oleh suatu kurva normal statistis tetapi oleh suatu distribusi tertentu misalnya distribusi gamma, analisa statistik tetap cukup mudah dilakukan. Dari pemisalan sederhana tersebut secara sederhana analisa normalitas hutan dapat dilakukan melalui sebuah pengujian regresi. Kita bisa melakukan analisa regresi sederhana multivariabel, Generalized Linear Model (GLM) atau dengan analisa yang lebih luas yaitu dengan Generalized Estimating Equations (GEE). Bagaimana membentuknya?

Misalkan kita melakukan survey tahunan secara random pada 100 titik pengamatan berupa PUP selama 10 tahun dengan mengambil data kandungan unsur P tanah, tinggi dan diameter pohon, jumlah individu, suhu dan persentasi cahaya secara berkala. Jika potensi (dalam m3) yang akan menjadi target kelestarian, maka kita bisa membangun suatu persamaan regresi terkluster, sebagai berikut:

Potensi = a + b1P + b2 Jml semai + b3 Jml pancang + b4 Jml tiang + b5 Suhu + b6 cahaya + e

Indikasi hasil uji yang menyatakan bahwa distribusi yang normal secara statistik untuk masing-masing variabel (selama 10 tahun) dan nilai penting (tahunan) yang cenderung tetap dari setiap variabel bebas akan mengindikasikan bahwa kondisi hutan tetap stabil (normalitas hutan dari sisi vegetasi tetap terjaga).

Bagaimana jika data belum tersedia dan pengukuran masih kurang? Kita bisa membuat kurva distribusi struktur umur dari populasi vegetasi tahunan dan menganalisa secara deskriptif apakah kurvanya normal atau tidak. Secara sederhana dari sisi vegetasi kita tetap bisa menentukan kelestarian hutan.

Pertanyaannya mengapa bukan potensi secara tunggal saja perlu diperhatikan untuk kelestarian hutan? Karena potensi kayu adalah resultante dari banyak faktor. Apa yang salah dari hutan ketika potensi kayu menurun? Inilah pertanyaan yang cenderung diperdebatkan dan akhirnya hanya dugaan yang menjadi jawaban. Karena masyarakat, karena kesalahan pengusaha, karena bencana alam? Tapi kita tidak pernah bertanya pada hutannya sendiri, apa yang sakit dan bagian mana dari tubuh hutan yang perlu diperbaiki agar secara utuh hutan tetap lestari?

17 Apr 2011

Standar Normal Pengelolaan dan Dominansi Pengelola Hutan

Kelemahan utama dalam penelitian adalah kadang kita tidak memahami faktor apa yang akan diuji (respon) dan variabel-variabel apa yang perlu dipertimbangkan sebagai penduga yang berpengaruh, hubungan antara variabel penduga dengan respon dan hubungan antar variabel-variabel penduga itu sendiri.  Tidak mudah menentukan faktor apa yang akan dijadikan sebagai respon. Apakah benar suatu respon itu adalah sebagai sebuah hasil suatu proses atau justru itu adalah bagian dari suatu proses yang akan menghasilkan suatu respon alam atau dampak perlakuan tertentu.
Dalam dunia kehutanan, misalnya, sudah menjadi pemahaman umum bahwa sersah mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberlanjutan fungsi hidrologi, meningkatkan kesuburan tanah (fisik dan kimia) melalui humus yang terbentuk dengan ketersediaan unsur haranya, serta mengurangi terjadinya erosi. Dengan pemahaman itu maka sebagian dari kita mungkin akan menyimpulkan bahwa dengan semakin besarnya sersah maka semakin tinggi fungsi hutan khususnya dari segi peningkatan produktifitas lahan dan meningkatkan ketersediaan air tanah.  Dengan dasar tersebut kemudian kita akan mulai menekuni sersah secara khusus pada kandungan unsur hara dan pengaruh-pengaruh spesifik lainnya pada lantai hutan atau pada areal budidaya secara umum.
Mari kita perhatikan secara lebih kritis. Sersah ada karena ada tumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sersah dan bentuknya sebagai humus adalah: Jenis, umur dan kerapatan vegetasi serta  kondisi lingkungan khususnya suhu dan kelembaban. Pertanyaan kemudian berkembang, apakah sersah ataukah kondisi vegetasi dan iklim mikro di sekitar tumbuhan yang perlu dipertimbangkan yang menentukan peningkatan produktifitas lahan dan peningkatan ketersediaan air tanah?  Sangat mendasar adalah tidak mungkin ada sersah jika vegetasi tidak ada. Tidak semua sersah cepat menjadi humus (C/N ratio yang tinggi) dan sersah adalah bukan merupakan penahan erosi yang baik jika karakteristiknya tidaklah cukup tebal dan tidak ada faktor lain yang menahan sersah agar tidak hanyut oleh limpasan.
Mari kita lihat sistem di hutan secara lebih seksama. Hutan pada dasarnya adalah suatu asosisasi tumbuhan. Hutan didominasi pohon atau tumbuhan berkayu. Hutan kondisinya cukup rapat sedemikian sehingga memberikan iklim yang berbeda dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam UU tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem (?) dimana terjadi hubungan timbal balik antar faktor-faktor penyusunannya yang didominasi pohon dengan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan. Dengan dasar inilah maka tidaklah tepat jika kita mendefinisikan nilai penting hutan dengan mendasarkan pada salah satu ciri dari kondisi hutan semata.
Pada kenyataannya kondisi hutan sangat ditentukan oleh faktor pengelolaan. Dan manusialah yang sangat dominan yang menentukan pengelolaan hutan tersebut. Kita tidak bisa berbicara tentang keragaman hayati hutan, jasa lingkungan hutan atau produksi kayu dan non kayu hutan yang tinggi tanpa mempertimbangkan faktor manusia sebagai pengelolanya. Kita tidak bisa memisahkan manusia dan hutan dan tidak bisa mementingkan salah satunya untuk semua kategori hutan. Sangatlah tepat seorang guru besar di UGM menyatakan jika kita berbicara ekosistem hutan, maka manusia adalah salah satu penyusun dari ekosistem tersebut
Bagaimana sesungguhnya keberhasilan pengelolaan hutan tercapai. Keberhasilan pengelolaan hutan akan tercapai ketika terjadi optimalisasi kerusakan hutan yang dilakukan oleh manusia terhadap sejauh mana hutan tetap mampu mempertahankan produktifitasnya untuk suatu tingkat produktifitas tertentu. Dalam kondisi tersebut kita akan membayangkan terdapat suatu grafik tingkat produktifitas hutan yang  trend nilainya akan ditentukan oleh selisih kerusakan hutan dan perbaikan yang dilakukan oleh manusia. Jika kerusakan lebih tinggi dari pada perbaikan maka grafik produktifitas tersebut akan menurun dan sebaliknya jika kerusakan lebih rendah dari perbaikan.
Bagaimana kenyataan yang dihadapai? Kenyataannya laju kerusakan hutan lebih tinggi daripada laju perbaikan hutan dan sektor kehutanan juga tidak cukup mampu menghasilkan uang dimana pengelolaan yang dikorbankan untuk menghasilkan uang untuk membiayai keberlanjutan pengelolaan dengan struktur pengelolanya yang besar.  Sangat tidak mungkin pada kondisi tersebut hutan akan lestari…
Bagaimana sekarang kehutanan menyikapi permasalahan ini?
Langkah yang berkembang adalah dengan meningkatkan produktifitas hutan dengan mengorbankan keragaman genetik dengan membangun tegakan cepat tumbuh dan seragam, dalam hal ini menggeser suksesi hutan ke arah mundur. Targetnya adalah dengan melipatgandakan hasil ekonomi hutan meskipun dengan sedikit penambahan biaya usaha. Jika modal tidak cukup tersedia, maka perlu didorong iklim investasi yang kondusif. Namun sebuah tantangan muncul adalah kemunduran suksesi dan kerentanan hama penyakit apakah seimbang dengan keuntungan yang didapat?
Langkah  berikutnya adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengelola hutan secara lebih luas. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan hutan karena tekanan sosial. Namun melalui cara ini maka produktifitas hutan untuk produksi nasional (terbesar berbentuk kayu dengan kualitas pasar yang tinggi) akan dikorbankan dan berganti dengan keuntungan ekonomi yang  cenderung sosial yang tidak bisa dimasukan sebagai nilai ekonomi hutan secara utuh seperti hanya nilai jasa lingkungan yang dihasilkannya. Hal tersebut terjadi karena nilai pendapatan negara tetap dihitung dari nilai uang yang masuk ke kas negara.
Langkah ketiga adalah dengan mengatasi langsung kerusakan hutan melalui penegakan hukum dan peningkatan SDM kehutanan. Usaha ini akan menghabiskan banyak biaya. Tanpa kemampuan produktifitas keberhasilan terhadap jumlah biaya yang harus dikeluarkan atau tanpa standar dimana upaya ini dianggap ideal, maka usaha ini adalaah usaha yang meskipun tampak efektif dalam menyelematakan hutan, namun secara umum pengaruhnya terhadap produktifitas hutan mungkin sangatlah kecil. Tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk itu.
Apa yang terjadi dengan otonomi. Pada kenyataannya otonomi menghendaki keuntungan daerah lebih tinggi tanpa mempertimbangkan kelestarian hutan itu sendiri maupun target pengelolaan hutan nasional. Sehingga tepat ketika otonomi bidang kehutanan harus dibatasi, mengingat euforia hutan (dan lahannya) adalah uang berdiri yang bisa diambil dengan mudah? Permasalahan terbesar di sini adalah siapa yang paling dominan dan memahami pengelolaan hutan secara utuh? Otonomi dan ide KPH pada dasarnya juga sejalan pada kenyataannya. Sehingga otonomi dengan KPH tetap berimplikasi yang sama. Dan sangat mungkin pengelolaan hutan menjadi lebih tidak terkendali dengan semakin lemahnya kontrol pusat terhadap aset hutannya yang tersebar di daerah-daerah.
Dari semua solusi dan kelemahannya tersebut, apa hal mendasar yang tidak kita miliki dalam mengelola hutan. Hal tersebut adalah kita tidak mempunyai standar normal keberhasilan pengelolaan hutan nasional dan tidak mampu mengendalikan pengelolaan hutan pada sub-sub pengelolaan hutan. Bagaimana jika kita membuat standar normal pengelolaan hutan pada masing-masing sub pengelolaan hutan sehingga standar nasional pengelolaan hutan dapat terpenuhi. Bagaimana mengatasinya? Dengan memegang pihak dominan yang menentukan keberhasilan pengelolaan hutan pada setiap sub pengelolaan hutan di daerah?

8 Apr 2011

Multisistem Pengelolaan Hutan: Statistical Model based Approach, Basic Idea.

Model statistic adalah sebuah pendeskripsian dari suatu keadaan atau proses. Model statistik bukanlah suatu hipotesis ataupun teori.  Model statistic divalidasi melalui serangkaian test terhadap hipotesis yang relevant terhadap suatu permasalahan yang diangkat.

Pemodelan klasik mempunyai asumsi bahwa kejadian alam sesungguhnya terjadi secara independent dan dengan distribusi frekwensi yang membentuk suatu kurva normal. Kenyataan ini menyebabkan beberapa pendekatan perlu dilakukan, diantaranya dengan melakukan pengukuran pada jumlah sampel/unit pengamatan yang besar (> 30 sampel). Perkembangan di dalam pemodelan statistic tidaklah menjadikan independensi dan normalitas distribusi sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, bahkan interrelasi antar variabel penduga tetap menjadi bahan pertimbangan dalam suatu pemodelan. Perkembangan pemodelan berdasarkan interrelasi antar variabel pengamatan merupakan suatu pendekatan yang relative baru dalam pembentukan suatu model statistic. 

Hutan tersusun atas komponen lahan, tumbuhan dan lingkungan yang saling berinteraksi menghasilkan suatu kesatuan eksosistem yang stabil. Dinamisasi pada eksositem hutan mengikuti suatu pola suksesi tertentu dimana suksesi klimaks menghasilkan suatu ekosistem hutan alam yang stabil. Hutan alam hujan tropis yang meliputi sebagian besar kawasan hutan alam nasional adalah contoh dari ekosistem hutan alam klimaks di daerah tropis di Indonesia.

Kebijakan hutan nasional membagi kawasan hutan berdasakan 3 fungsi utama, yaitu fungsi lindung, konservasi dan produksi yang menghasilkan 3 jenis hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Pada kenyataannya setiap fungsi hutan disusun oleh tipe-tipe hutan yang berbeda berdasarkan asosiasi yang terjadi, tipe iklim, ketinggian tempat maupun berdasarkan edapis tertentu. Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan 3 fungsi hutan (termasuk bagaimana system silvikultur dihasilkan) sesungguhnya juga dipengaruhi oleh tipe hutan yang dikelola. Dengan demikian sesungguhnya kebijakan pengelolaan hutan nasional terstrata bukan hanya oleh fungsi hutan tetapi juga oleh tipe hutannya.

Perkembangan otonomi daerah yang mencuat, menyebabkan pengelolaan hutan sesungguhnya juga terstrata berdasarkan hierarki pemerintahan. Sehingga pada level tertentu kebijakan pengelolaan hutan menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan tujuan pengelolaan utama dari suatu propinsi atau kabupaten yang membawahi suatu kesatuan pengelolaan kawasan hutan tertentu.

Dalam kacamata pelaku pengelolaan hutan, sesungguhnya terdapat empat pihak yang terlibat, yaitu pemerintah (pusat dan daerah), swasta, BUMN dan masyarakat (terkelompok maupun teradministrasi pemerintahan tertentu). Kompleksnya kegiatan pengelolaan hutan nasional harus menjadi dasar utama pertimbangan keberhasilan pengelolaan hutan nasional. Dominansi pengelola tertentu akan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan hutan pada tiap unit tapak pengelolaan. Pada kondisi tertentu desakan masyarakat dalam pengelolaan hutan menyebabkan pemerintah mengakomodir keberadaan masyarakat sebagai pengelola dan sebagai pihak yang diangkat partisipasinya dalam pengelolaan hutan.

Kompleksitas pengelolaan hutan nasional tidak cukup sampai disitu, namun berdasarkan PP No.6 tahun 1997, pengelolaan hutan diserahkan kepada suatu unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dimana KKPH adalah pemegang otoritas pengelolaan hutan pada suatu level tertentu. Lagi-lagi menjadi permasalahan adalah bukan bagaimana kewenangan itu beralih tangan, tetapi pada siapa yang mendominasi pengelolaan hutan di suatu unit kesatuan pengelolaan hutan.

Semua kompleksitas pengelolaan hutan adalah sebagai sebuah realita yang harus dipertimbangkan, namun kompleksitas tersebut tidak terlalu menjadi hal yang penting ketika kita berhasil mengelola kawasan-kawasan hutan secara baik dan memenuhi fungsi-fungsinya. Siapapun yang mengelola kawasan hutan tidak menjadi permasalahan ketika mereka bertindak secara legal. Permasalahan sebenarnya adalah bagaimana membuat kawasan-kawasan hutan itu tetap mempunyai dinamisasi yang optimal sehingga fungsi-fungsi yang diembannya tetap dapat terjaga. Kawasan hutan produksi haruslah tetap produktif dan memberikan keberlanjutan hasil. Sementara itu kawasan hutan lindung harus tetap mampu memenuhi fungsinya sebagai penyangga kehidupan, begitu pula dengan kawasan-kawasan konservasi tetap berfungsi optimal dalam menjaga keragaman hayati dan ekosistemnya.

Bagaimana aplikasi modeling menjembatani perlunya kelestarian fungsi hutan?

 Optimasi, prediksi dan relasi merupakan peluang besar dalam modeling yang dapat diaplikasikan dalam mendukung keberhasilan pengelolaan hutan nasional. Keberhasilan pengelolaan hutan ditentukan oleh suatu nilai estimasi maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu model. Sementara itu dinamisasi kondisi hutan nasional dapat dilihat berdasarkan suatu nilai prediksi yang logis yang dapat dihasilkan oleh suatu model. Di lain pihak, setiap komponen pengelola hutan tentulah berada dalan suatu relasi yang tertentu (terstruktur maupun tidak) yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan hutan. Relasi yang ada dapat pula dimunculkan dan diakomodir dalam suatu model matematis dalam model statitistik.

Ide dasar dalam sebuah modeling pada dasarnya sangat sederhana. Kita hanya perlu memasukan suatu variabel respon yang akan dianalisa (dalam hal ini kelestarian hutan dalam 3 fungsinya), dan variabel-variabel penting penduganya yang mempengaruhi kelestarian hutan dalam 3 fungsinya tersebut. Secara alami karakteristik wilayah yang berbeda akan menghasilkan respon kelestarian hutan yang berbeda. Generalisasi pada dasarnya perlu memperhitungkan banyak asumsi dimana keragaman karakteristik pengelolaan hutan itu dapat dipersamakan. Namun hal tersebut secara logis akan menyebabkan terjadinya bias terhadap pendugaan yang dihasilkan oleh suatu model statistic.

Langkah mudah sesungguhnya adalah dengan melakukan pengelompokan (clustering) dimana respon kelestarian hutan akan berbeda untuk setiap wilayah secara valid. Dalam hal ini hal yang mungkin akan menjadi tugas besar dalam pembentukan suatu model statistic adalah akurasi pemilihan lokasi dan pengklasifikasian perbedaan respon berdasarkan variabel-variabel yang secara teoritis maupun logis menjadi penentu adanya pengklasifikasian tersebut.  Dalam hal, ini akan terjadi sebuah hierarki pengelolaan hutan berdasakan variabel-variabel terkait di dalam model sehingga respon keseluruhan model menunjukan suatu keberhasilan pengelolaan hutan nasional.

 Bagaimana sesungguhnya ide multisistem Pengelolaan Hutan?

Berdasarkan model statistic yang dibangun, pengelolaan hutan akan membentuk suatu hierarki pengelolaan berdasarkan parameter-parameter tertentu yang terklasifikasi dan mempunyai signifikansi pengaruh terhadap optimalisasi pengelolaan hutan jangka panjang secara nasional maupun pada cakupan lokal.  Setiap sub hierarki adalah sub pengelolaan hutan terhadap pengelolaan hutan nasional dan sub-sub hierarki tersebut pada dasarnya akan membentuk suatu tipe pengelolaan hutan tertentu. Keragaman tipe pengelolaan hutan pada sub hierarki tersebut yang dinamakan dalam ide ini sebagai sub-sub system pengelolaan dengan penggabungannya dinamakan sebagai multisystem pengelolaan hutan.  

Apakah ide multisystem pengelolaan hutan dapat diwujudkan?

Pertanyaan mendasar dari ide ini adalah apakah semua pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan mempunyai kesepatakan yang sama terhadap perlunya keberhasilan pengelolaan hutan menurut 3 fungsinya atau tidak? Jika kenyataan tersebut tidaklah terwujud, maka model statistic multisystem pengelolaan hutan akan menjadi suatu justifikasi bahwa pengelola tertentu atau suatu wilayah tertentu telah melakukan suatu kesalahan pengelolaan hutan, sehingga kelestarian hutan secara nasional tidak dapat terwujud. Jika kenyataan menunjukan bahwa peluang kesepakatan dimaksud dapat terwujud maka multisystem pengelolaan hutan akan memberikan gambaran arahan pengelolaan hutan yang lebih tepat bagi setiap kompenen pengelola hutan di tingkat nasional maupun local.

Secara statistic, pemodelan multisystem pengelolaan hutan hutan dapat diwujudkan berdasarkan perkembangan yang terjadi pada ilmu modeling. Dan pengujian-pengujian terhadap model cukup valid untuk dilakukan. Dengan demikian ide multisystem pengelolaan hutan secara statistic akan dapat diwujudkan.

Apakah arti penting multisystem pengelolaan hutan?

Setiap permasalahan dapat dipecahkan dengan suatu alur logis yang dapat dipercaya. Alur logis akan memberikan suatu hasil yang cukup logis untuk diterapkan diatara kebingungan-kebingungan yang terjadi dalam membenahi pengelolaan hutan nasional yang sangat kompleks. Justifikasi uji statistic sedikit banyak akan memberikan kepercayaan kepada kita dalam membuat sebuah kebijakan pengelolaan hutan nasional. Multisistem pengelolaan hutan akan memberikan penilaian terhadap pengelolaan hutan local dan secara umum terhadap pengelolaan hutan nasional. Di sinilah pentingnya membangun sebuah model pengelolaan hutan (model buatan) untuk menjembatani keberhasilan pengelolaan hutan nasional secara  keseluruhan.

Apakah keterbatasan yang akan terjadi dengan mewujudkan ide multisystem pengelolaan hutan?

Permasalahan mendasar adalah ide ini merupakan ide yang baru dimana perlu dukungan sub-sub penelitian awal yang akan mengkaji setiap korelasi parameter-parameter penduga model pada setiap wilayah yang menjadi perhatian dalam kajian. Beragam pemahaman baik ekologi, social dan  ekonomi akan menjadikan pembuatan multisystem pengelolaan hutan dilakukan secara kolaborasi dimana model sebagai ide pengikatnya. Tanpa penelitian-penelitian dasar maka model yang dibangun perlu divalidasi menurut rentang waktu tertentu.

Melestarikan Kemunduran Hutan

Hutan ideal adalah hutan klimaks. Gangguan pada hutan menyebabkan pergeseran kondisi hutan menuju kerapatan/jumlah jenis yang rendah, kondisi lahan yang kritis dan munculnya jenis-jenis suksesi awal seperti semak belukar, alang-alang atau jenis-jenis pioner yang umumnya mempunyai ciri: cepat tumbuh, tahan terhadap kekritisan lahan yang tinggi, mempunyai sifat alelopati dan tahan terhadap pencahayaan maksimal.

Tantangan terbesar pengelolan hutan adalah memulihkan kembali kondisi hutan ke kondisi optimalnya.
Namun, paradigma yang berkembang adalah kita sesungguhnya mencoba beradaptasi terhadap kemunduran hutan dan bukan memperbaikinya. Gambaran hal tersebut ditandai oleh adanya pengembangan dan penanaman secara luas jenis-jenis yang cepat tumbuh, komposisi tanaman yang seragam (tingkat dominansi yang tinggi) dan mempunyai daya tahan terhadap kekritisan lahan yang tinggi.  Sesungguhnya jenis-jenis berkategori apakah yang kita tanam? Jenis-jenis itu adalah jenis-jenis pioner atau jenis-jenis suksesi awal.

Rehabilitasi hutan dan lahan adalah tepat diawali dengan penanaman jenis-jenis suksesi awal, untuk memperbaiki kualitas penutupan, kualitas lahan dan menciptakan iklim mikro yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman pada suksesi lanjutannya menuju terbentuknya ekosistem hutan yang optimal. Namun para silvikulturis akankah meniru pola rehabilitasi dalam bentuk mengembangkan jenis-jenis dengan kriteria pioner tetapi cenderung meninggalkan jenis-jenis tumbuhan pada hutan klimaks, yang umumnya lambat tumbuh, berat jenis kayu yang tinggi dan membutuhkan kualitas lahan yang baik?

Nilai ekonomi pengelolaan hutan sejak awal dilakukannya eksploitasi hutan alam tropika memang mengenal jangka waktu pengelolaan yang panjang, minimal 20 tahun atau lebih. Hal tersebut dengan landasan ekonomi dan ekologis dari pohon-pohon bernilai ekonomi tinggi dari hutan alam tropika yang umumnya mempunyai daur tumbuh yang lama. Tapi, mengapa kita sekarang cenderung bangga dengan mengembangkan jenis-jenis yang berdaur pendek dan pioner? Atau mencoba menurunkan kualitas dengan membuat jenis-jenis lambat tumbuh menjadi cepat tumbuh? Sesungguhnya kita mencoba beradaptasi dengan kemunduran hutan atau sengaja melestarikan kemunduran hutan?  Bayangkan jika hutan alam tropika kita berganti menjadi tegakan pioner seluruhnya….Tegakan-tegakan yang rentan terbakar,  produktifitas ekosistem yang rendah, menumbuhsuburkan hama dan hanya mempunyai satu fungsi yaitu fungsi ekonomi jangka pendek…

13 Mar 2011

Multisistem Pengelolaan hutan: Produktifitas Breeding dan Kelestarian Hutan

Tentu sangat menarik membahas mengenai pelestarian keragaman genetik, ketika pemahaman dan pengetahuan kita tentang keragaman genetik adalah telah menjadi fokus dalam suatu riset. Namun sayang bahwa ide tentang keragaman genetik dalam fungsinya untuk pemuliaan pohon masih sangat baru untuk dikembangkan.

Berikut disampaikan sedikit kesimpulan dari hasil galian saya pada beberapa literatur tentang bahasan tersebut:

1. Pemuliaan pohon merupakan proses seleksi secara genetis. Populasi induk diseleksi menghasilkan populasi keturunan yang superior dan cukup homogen. Keberhasilan seleksi ditentukan oleh faktor genetik, interaksi antar faktor genetik, faktor lingkungan dan interaksi antara faktor genetik dengan lingkungannya.

2. Intensitas seleksi menentukan variabilitas genetik dari keturunan. Besarnya intensitas genetik berbanding terbalik terhadap penurunan variabilitas genetik keturunannya. Dengan memperhatikan perolehan genetik dan intensitas genetik maka pendugaan pelestarian genetik pada populasi keturunan dapat dilakukan.

3. Basis genetik merupakan basis strategi breeding jangka panjang. Selain untuk seleksi, keragaman genetik diperlukan untuk melakukan kombinasi gen dalam menghasilkan suatu sifat (fenotifik) tertentu. Pelestarian variasi genetik melalui breeding dihitung melalui populasi efektif (Ne) dan populasi optimal pemeliharaan gen jangka pendek.

4. Franklin (1980) dan Soulé (1980) menyarankan Ne sebesar 500 individu, Lynch (1995) 1,000 individu dan Lande (1995) 5,000 individu. Sementara itu, Lindgren et al. (1997) menyarankan 200 indukan tak berhubungan cukup untuk mendapatkan perolehan genetik yang sesuai dengan biaya dan keuntungan breeding. Namkoong (1979); Falconer dan Mackay (1996) menyarankan 30 - 50 induk cukup untuk memastikan bahwa gene yang terpengaruh oleh seleksi akan terpelihara pada populasi breeding.

5. Efisiensi dan feasibilitas breeding membatasi breeder dalam melestarikan keragaman genetik secara utuh. Pada suatu tingkat efisiensi dan feasibilitas yang dimilikinya, breeder perlu membangun areal konservasi in-situ dan eks-situ sebagai modal dasar kegiatan breeding dan sebagai asset dalam mengantisipasi keperluan breeding masa depan.

6. Pelestarian keragaman genetik yang terdapat di hutan atau yang berasal dari hutan merupakan tanggung jawab bersama baik breeder, pemerintah maupun masyarakat. Keterbatasan yang dimiliki masing-masing pihak menghendaki sinkronisasi kegiatan pelestarian.

7. Penurunan keragaman genetik hutan terjadi dengan banyak faktor penyebab, saling terkait dan terjadi dalam sekala luas, begitu pula dengan dampaknya, secara luas meliputi banyak aspek pembangunan. Dengan demikian, manfaat pelestarian keragaman genetik hutan bukan hanya penting untuk dunia kehutanan, akan tetapi juga menentukan terpenuhinya kebutuhan masyarakat jangka pendek dan kepentingan pembangunan jangka panjang.

28 Jan 2011

Multisistem Pengelolaan Hutan (3): Forest for People

Apa yang ada dibenakku dengan adanya motto "Forest for People" adalah rasa egoisme yang tinggi.  Dalam motto itu siapakah sebenarnya pemilik hutan itu? dan siapakah si pemilik yang tidak membutuhkan hutan itu dan kemudian menyerahkannya kepada rakyat. Tentu juga sangat umum difahami, rakyat yang mana?

Sangat sedikit mungkin yang beranggapan bahwa apa yang dibutuhkan dari hutan adalah bukan hanya  kayu, lahan, binatang dan air. Mungkin sangat sedikit pula yang memahami bahwa hutan adalah hasil proses suksesi alam yang mencapai bentuk puncaknya. Lahan tandus berubah menjadi belukar kemudian bervegetasi pohon-pohon fioner dan akhirnya berubah menjadi bentuk yang paling stabilnya yaitu hutan alam. Keseimbangan dalam ekosistem hutan alam itulah yang kemudian memberikan kita kayu, air, oksigen, binatang dan  lahan-lahan subur yang siap untuk dipergunakan. Sedemikian sempurnanya hutan terbentuk dan memberikan manfaat, apakah akan sedemikian disederhanakannya makna hutan sebagai benda yang mudah dipindahtangkan dengan motto "Forest for People"?  Sudah pernahkan manusia berhasil membangun hutan yang sebenarnya selain menganggapnya sebagai pohon uang dan bukan pohon penyelamat?

Memang benar bahwa segala yang ada di bumi ditujukan untuk manusia. Keuntungan ekonomi, sosial dan ekologi semuanya diperuntukan untuk manusia. Manusia yang bijak pantas mendapatkannya. Tapi pernah kah kita sadar bahwa pada dasarnya manusia adalah perusak. Perubahan dan dinamisasi manusia sangat tinggi dan lebih tinggi daripada kemampuan ekosistem alam untuk menyeimbangkan dirinya ketika perubahan dan dinamisasi manusia itu mengganggu bahkan hingga sedemikian merusak.  Apa yang dilakukan manusia ketika hutan rusak selain saling menyalahkan dan lempar tanggung jawab? Pernah adakah yang yang berani mengatakan: "Saya yang merusak hutan dan sayalah yang bertanggungjawab untuk memulihkannya lagi!"?

Motto boleh saja berdalih atas nama apapun. Namun sudah seyogyanya, bahwa apa yang kita fikirkan juga mempertimbangkan dampak yang akan  terjadi. Tidak perlu kita secara vulgar mengatakan untuk menyerahkan sesuatu kepada target yang diinginkan tanpa ada sedikit sentuhan tanggung jawab dan penghargaan di dalamnya terhadap apa yang kita berikan.

Hutan telah membangun alam yang lebih baik, hutan telah menjadi milik alam yang memberikan beribu bahkan berjuta manfaat untuk manusia. Manusia hendaklah mengambil manfaat itu dengan bijak.  Teori bijak mengatakan: "Apa yang disediakan alam hendaknya diambil dengan memperhatikan regenerasinya agar manfaat yang diambil dapat lestari". Teori ini sangatlah mudah untuk diucapkan dan bisa dijadikan pembenaran apapun yang dilakukan oleh manusia terhadap penguasaannya terhadap alam. Namun, teori hanya tinggal teori ketika pada prakteknya kebutuhan manusialah yang dianggap paling penting dan alam hanya dijadikan sebagai sebuah objek.

"Forest for Nature and Nature for People" itulah slogan yang saya usung sebagai akhir dari tulisan singkat dalam sub tema ini.

(bersambung....)