17 Apr 2011

Standar Normal Pengelolaan dan Dominansi Pengelola Hutan

Kelemahan utama dalam penelitian adalah kadang kita tidak memahami faktor apa yang akan diuji (respon) dan variabel-variabel apa yang perlu dipertimbangkan sebagai penduga yang berpengaruh, hubungan antara variabel penduga dengan respon dan hubungan antar variabel-variabel penduga itu sendiri.  Tidak mudah menentukan faktor apa yang akan dijadikan sebagai respon. Apakah benar suatu respon itu adalah sebagai sebuah hasil suatu proses atau justru itu adalah bagian dari suatu proses yang akan menghasilkan suatu respon alam atau dampak perlakuan tertentu.
Dalam dunia kehutanan, misalnya, sudah menjadi pemahaman umum bahwa sersah mempunyai pengaruh yang besar terhadap keberlanjutan fungsi hidrologi, meningkatkan kesuburan tanah (fisik dan kimia) melalui humus yang terbentuk dengan ketersediaan unsur haranya, serta mengurangi terjadinya erosi. Dengan pemahaman itu maka sebagian dari kita mungkin akan menyimpulkan bahwa dengan semakin besarnya sersah maka semakin tinggi fungsi hutan khususnya dari segi peningkatan produktifitas lahan dan meningkatkan ketersediaan air tanah.  Dengan dasar tersebut kemudian kita akan mulai menekuni sersah secara khusus pada kandungan unsur hara dan pengaruh-pengaruh spesifik lainnya pada lantai hutan atau pada areal budidaya secara umum.
Mari kita perhatikan secara lebih kritis. Sersah ada karena ada tumbuhan. Faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah sersah dan bentuknya sebagai humus adalah: Jenis, umur dan kerapatan vegetasi serta  kondisi lingkungan khususnya suhu dan kelembaban. Pertanyaan kemudian berkembang, apakah sersah ataukah kondisi vegetasi dan iklim mikro di sekitar tumbuhan yang perlu dipertimbangkan yang menentukan peningkatan produktifitas lahan dan peningkatan ketersediaan air tanah?  Sangat mendasar adalah tidak mungkin ada sersah jika vegetasi tidak ada. Tidak semua sersah cepat menjadi humus (C/N ratio yang tinggi) dan sersah adalah bukan merupakan penahan erosi yang baik jika karakteristiknya tidaklah cukup tebal dan tidak ada faktor lain yang menahan sersah agar tidak hanyut oleh limpasan.
Mari kita lihat sistem di hutan secara lebih seksama. Hutan pada dasarnya adalah suatu asosisasi tumbuhan. Hutan didominasi pohon atau tumbuhan berkayu. Hutan kondisinya cukup rapat sedemikian sehingga memberikan iklim yang berbeda dengan lingkungan di sekitarnya. Dalam UU tentang Kehutanan, hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan ekosistem (?) dimana terjadi hubungan timbal balik antar faktor-faktor penyusunannya yang didominasi pohon dengan lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan. Dengan dasar inilah maka tidaklah tepat jika kita mendefinisikan nilai penting hutan dengan mendasarkan pada salah satu ciri dari kondisi hutan semata.
Pada kenyataannya kondisi hutan sangat ditentukan oleh faktor pengelolaan. Dan manusialah yang sangat dominan yang menentukan pengelolaan hutan tersebut. Kita tidak bisa berbicara tentang keragaman hayati hutan, jasa lingkungan hutan atau produksi kayu dan non kayu hutan yang tinggi tanpa mempertimbangkan faktor manusia sebagai pengelolanya. Kita tidak bisa memisahkan manusia dan hutan dan tidak bisa mementingkan salah satunya untuk semua kategori hutan. Sangatlah tepat seorang guru besar di UGM menyatakan jika kita berbicara ekosistem hutan, maka manusia adalah salah satu penyusun dari ekosistem tersebut
Bagaimana sesungguhnya keberhasilan pengelolaan hutan tercapai. Keberhasilan pengelolaan hutan akan tercapai ketika terjadi optimalisasi kerusakan hutan yang dilakukan oleh manusia terhadap sejauh mana hutan tetap mampu mempertahankan produktifitasnya untuk suatu tingkat produktifitas tertentu. Dalam kondisi tersebut kita akan membayangkan terdapat suatu grafik tingkat produktifitas hutan yang  trend nilainya akan ditentukan oleh selisih kerusakan hutan dan perbaikan yang dilakukan oleh manusia. Jika kerusakan lebih tinggi dari pada perbaikan maka grafik produktifitas tersebut akan menurun dan sebaliknya jika kerusakan lebih rendah dari perbaikan.
Bagaimana kenyataan yang dihadapai? Kenyataannya laju kerusakan hutan lebih tinggi daripada laju perbaikan hutan dan sektor kehutanan juga tidak cukup mampu menghasilkan uang dimana pengelolaan yang dikorbankan untuk menghasilkan uang untuk membiayai keberlanjutan pengelolaan dengan struktur pengelolanya yang besar.  Sangat tidak mungkin pada kondisi tersebut hutan akan lestari…
Bagaimana sekarang kehutanan menyikapi permasalahan ini?
Langkah yang berkembang adalah dengan meningkatkan produktifitas hutan dengan mengorbankan keragaman genetik dengan membangun tegakan cepat tumbuh dan seragam, dalam hal ini menggeser suksesi hutan ke arah mundur. Targetnya adalah dengan melipatgandakan hasil ekonomi hutan meskipun dengan sedikit penambahan biaya usaha. Jika modal tidak cukup tersedia, maka perlu didorong iklim investasi yang kondusif. Namun sebuah tantangan muncul adalah kemunduran suksesi dan kerentanan hama penyakit apakah seimbang dengan keuntungan yang didapat?
Langkah  berikutnya adalah memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengelola hutan secara lebih luas. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi kerusakan hutan karena tekanan sosial. Namun melalui cara ini maka produktifitas hutan untuk produksi nasional (terbesar berbentuk kayu dengan kualitas pasar yang tinggi) akan dikorbankan dan berganti dengan keuntungan ekonomi yang  cenderung sosial yang tidak bisa dimasukan sebagai nilai ekonomi hutan secara utuh seperti hanya nilai jasa lingkungan yang dihasilkannya. Hal tersebut terjadi karena nilai pendapatan negara tetap dihitung dari nilai uang yang masuk ke kas negara.
Langkah ketiga adalah dengan mengatasi langsung kerusakan hutan melalui penegakan hukum dan peningkatan SDM kehutanan. Usaha ini akan menghabiskan banyak biaya. Tanpa kemampuan produktifitas keberhasilan terhadap jumlah biaya yang harus dikeluarkan atau tanpa standar dimana upaya ini dianggap ideal, maka usaha ini adalaah usaha yang meskipun tampak efektif dalam menyelematakan hutan, namun secara umum pengaruhnya terhadap produktifitas hutan mungkin sangatlah kecil. Tidak sebanding dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk itu.
Apa yang terjadi dengan otonomi. Pada kenyataannya otonomi menghendaki keuntungan daerah lebih tinggi tanpa mempertimbangkan kelestarian hutan itu sendiri maupun target pengelolaan hutan nasional. Sehingga tepat ketika otonomi bidang kehutanan harus dibatasi, mengingat euforia hutan (dan lahannya) adalah uang berdiri yang bisa diambil dengan mudah? Permasalahan terbesar di sini adalah siapa yang paling dominan dan memahami pengelolaan hutan secara utuh? Otonomi dan ide KPH pada dasarnya juga sejalan pada kenyataannya. Sehingga otonomi dengan KPH tetap berimplikasi yang sama. Dan sangat mungkin pengelolaan hutan menjadi lebih tidak terkendali dengan semakin lemahnya kontrol pusat terhadap aset hutannya yang tersebar di daerah-daerah.
Dari semua solusi dan kelemahannya tersebut, apa hal mendasar yang tidak kita miliki dalam mengelola hutan. Hal tersebut adalah kita tidak mempunyai standar normal keberhasilan pengelolaan hutan nasional dan tidak mampu mengendalikan pengelolaan hutan pada sub-sub pengelolaan hutan. Bagaimana jika kita membuat standar normal pengelolaan hutan pada masing-masing sub pengelolaan hutan sehingga standar nasional pengelolaan hutan dapat terpenuhi. Bagaimana mengatasinya? Dengan memegang pihak dominan yang menentukan keberhasilan pengelolaan hutan pada setiap sub pengelolaan hutan di daerah?

8 Apr 2011

Multisistem Pengelolaan Hutan: Statistical Model based Approach, Basic Idea.

Model statistic adalah sebuah pendeskripsian dari suatu keadaan atau proses. Model statistik bukanlah suatu hipotesis ataupun teori.  Model statistic divalidasi melalui serangkaian test terhadap hipotesis yang relevant terhadap suatu permasalahan yang diangkat.

Pemodelan klasik mempunyai asumsi bahwa kejadian alam sesungguhnya terjadi secara independent dan dengan distribusi frekwensi yang membentuk suatu kurva normal. Kenyataan ini menyebabkan beberapa pendekatan perlu dilakukan, diantaranya dengan melakukan pengukuran pada jumlah sampel/unit pengamatan yang besar (> 30 sampel). Perkembangan di dalam pemodelan statistic tidaklah menjadikan independensi dan normalitas distribusi sebagai suatu hal yang harus dipenuhi, bahkan interrelasi antar variabel penduga tetap menjadi bahan pertimbangan dalam suatu pemodelan. Perkembangan pemodelan berdasarkan interrelasi antar variabel pengamatan merupakan suatu pendekatan yang relative baru dalam pembentukan suatu model statistic. 

Hutan tersusun atas komponen lahan, tumbuhan dan lingkungan yang saling berinteraksi menghasilkan suatu kesatuan eksosistem yang stabil. Dinamisasi pada eksositem hutan mengikuti suatu pola suksesi tertentu dimana suksesi klimaks menghasilkan suatu ekosistem hutan alam yang stabil. Hutan alam hujan tropis yang meliputi sebagian besar kawasan hutan alam nasional adalah contoh dari ekosistem hutan alam klimaks di daerah tropis di Indonesia.

Kebijakan hutan nasional membagi kawasan hutan berdasakan 3 fungsi utama, yaitu fungsi lindung, konservasi dan produksi yang menghasilkan 3 jenis hutan yaitu hutan lindung, hutan konservasi dan hutan produksi. Pada kenyataannya setiap fungsi hutan disusun oleh tipe-tipe hutan yang berbeda berdasarkan asosiasi yang terjadi, tipe iklim, ketinggian tempat maupun berdasarkan edapis tertentu. Dengan kondisi tersebut maka pengelolaan 3 fungsi hutan (termasuk bagaimana system silvikultur dihasilkan) sesungguhnya juga dipengaruhi oleh tipe hutan yang dikelola. Dengan demikian sesungguhnya kebijakan pengelolaan hutan nasional terstrata bukan hanya oleh fungsi hutan tetapi juga oleh tipe hutannya.

Perkembangan otonomi daerah yang mencuat, menyebabkan pengelolaan hutan sesungguhnya juga terstrata berdasarkan hierarki pemerintahan. Sehingga pada level tertentu kebijakan pengelolaan hutan menjadi kewenangan pemerintah daerah sesuai dengan tujuan pengelolaan utama dari suatu propinsi atau kabupaten yang membawahi suatu kesatuan pengelolaan kawasan hutan tertentu.

Dalam kacamata pelaku pengelolaan hutan, sesungguhnya terdapat empat pihak yang terlibat, yaitu pemerintah (pusat dan daerah), swasta, BUMN dan masyarakat (terkelompok maupun teradministrasi pemerintahan tertentu). Kompleksnya kegiatan pengelolaan hutan nasional harus menjadi dasar utama pertimbangan keberhasilan pengelolaan hutan nasional. Dominansi pengelola tertentu akan menjadi kunci keberhasilan pengelolaan hutan pada tiap unit tapak pengelolaan. Pada kondisi tertentu desakan masyarakat dalam pengelolaan hutan menyebabkan pemerintah mengakomodir keberadaan masyarakat sebagai pengelola dan sebagai pihak yang diangkat partisipasinya dalam pengelolaan hutan.

Kompleksitas pengelolaan hutan nasional tidak cukup sampai disitu, namun berdasarkan PP No.6 tahun 1997, pengelolaan hutan diserahkan kepada suatu unit Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dimana KKPH adalah pemegang otoritas pengelolaan hutan pada suatu level tertentu. Lagi-lagi menjadi permasalahan adalah bukan bagaimana kewenangan itu beralih tangan, tetapi pada siapa yang mendominasi pengelolaan hutan di suatu unit kesatuan pengelolaan hutan.

Semua kompleksitas pengelolaan hutan adalah sebagai sebuah realita yang harus dipertimbangkan, namun kompleksitas tersebut tidak terlalu menjadi hal yang penting ketika kita berhasil mengelola kawasan-kawasan hutan secara baik dan memenuhi fungsi-fungsinya. Siapapun yang mengelola kawasan hutan tidak menjadi permasalahan ketika mereka bertindak secara legal. Permasalahan sebenarnya adalah bagaimana membuat kawasan-kawasan hutan itu tetap mempunyai dinamisasi yang optimal sehingga fungsi-fungsi yang diembannya tetap dapat terjaga. Kawasan hutan produksi haruslah tetap produktif dan memberikan keberlanjutan hasil. Sementara itu kawasan hutan lindung harus tetap mampu memenuhi fungsinya sebagai penyangga kehidupan, begitu pula dengan kawasan-kawasan konservasi tetap berfungsi optimal dalam menjaga keragaman hayati dan ekosistemnya.

Bagaimana aplikasi modeling menjembatani perlunya kelestarian fungsi hutan?

 Optimasi, prediksi dan relasi merupakan peluang besar dalam modeling yang dapat diaplikasikan dalam mendukung keberhasilan pengelolaan hutan nasional. Keberhasilan pengelolaan hutan ditentukan oleh suatu nilai estimasi maksimal yang dapat dihasilkan oleh suatu model. Sementara itu dinamisasi kondisi hutan nasional dapat dilihat berdasarkan suatu nilai prediksi yang logis yang dapat dihasilkan oleh suatu model. Di lain pihak, setiap komponen pengelola hutan tentulah berada dalan suatu relasi yang tertentu (terstruktur maupun tidak) yang akan memberikan pengaruh terhadap keberhasilan pengelolaan hutan. Relasi yang ada dapat pula dimunculkan dan diakomodir dalam suatu model matematis dalam model statitistik.

Ide dasar dalam sebuah modeling pada dasarnya sangat sederhana. Kita hanya perlu memasukan suatu variabel respon yang akan dianalisa (dalam hal ini kelestarian hutan dalam 3 fungsinya), dan variabel-variabel penting penduganya yang mempengaruhi kelestarian hutan dalam 3 fungsinya tersebut. Secara alami karakteristik wilayah yang berbeda akan menghasilkan respon kelestarian hutan yang berbeda. Generalisasi pada dasarnya perlu memperhitungkan banyak asumsi dimana keragaman karakteristik pengelolaan hutan itu dapat dipersamakan. Namun hal tersebut secara logis akan menyebabkan terjadinya bias terhadap pendugaan yang dihasilkan oleh suatu model statistic.

Langkah mudah sesungguhnya adalah dengan melakukan pengelompokan (clustering) dimana respon kelestarian hutan akan berbeda untuk setiap wilayah secara valid. Dalam hal ini hal yang mungkin akan menjadi tugas besar dalam pembentukan suatu model statistic adalah akurasi pemilihan lokasi dan pengklasifikasian perbedaan respon berdasarkan variabel-variabel yang secara teoritis maupun logis menjadi penentu adanya pengklasifikasian tersebut.  Dalam hal, ini akan terjadi sebuah hierarki pengelolaan hutan berdasakan variabel-variabel terkait di dalam model sehingga respon keseluruhan model menunjukan suatu keberhasilan pengelolaan hutan nasional.

 Bagaimana sesungguhnya ide multisistem Pengelolaan Hutan?

Berdasarkan model statistic yang dibangun, pengelolaan hutan akan membentuk suatu hierarki pengelolaan berdasarkan parameter-parameter tertentu yang terklasifikasi dan mempunyai signifikansi pengaruh terhadap optimalisasi pengelolaan hutan jangka panjang secara nasional maupun pada cakupan lokal.  Setiap sub hierarki adalah sub pengelolaan hutan terhadap pengelolaan hutan nasional dan sub-sub hierarki tersebut pada dasarnya akan membentuk suatu tipe pengelolaan hutan tertentu. Keragaman tipe pengelolaan hutan pada sub hierarki tersebut yang dinamakan dalam ide ini sebagai sub-sub system pengelolaan dengan penggabungannya dinamakan sebagai multisystem pengelolaan hutan.  

Apakah ide multisystem pengelolaan hutan dapat diwujudkan?

Pertanyaan mendasar dari ide ini adalah apakah semua pihak yang terlibat di dalam pengelolaan hutan mempunyai kesepatakan yang sama terhadap perlunya keberhasilan pengelolaan hutan menurut 3 fungsinya atau tidak? Jika kenyataan tersebut tidaklah terwujud, maka model statistic multisystem pengelolaan hutan akan menjadi suatu justifikasi bahwa pengelola tertentu atau suatu wilayah tertentu telah melakukan suatu kesalahan pengelolaan hutan, sehingga kelestarian hutan secara nasional tidak dapat terwujud. Jika kenyataan menunjukan bahwa peluang kesepakatan dimaksud dapat terwujud maka multisystem pengelolaan hutan akan memberikan gambaran arahan pengelolaan hutan yang lebih tepat bagi setiap kompenen pengelola hutan di tingkat nasional maupun local.

Secara statistic, pemodelan multisystem pengelolaan hutan hutan dapat diwujudkan berdasarkan perkembangan yang terjadi pada ilmu modeling. Dan pengujian-pengujian terhadap model cukup valid untuk dilakukan. Dengan demikian ide multisystem pengelolaan hutan secara statistic akan dapat diwujudkan.

Apakah arti penting multisystem pengelolaan hutan?

Setiap permasalahan dapat dipecahkan dengan suatu alur logis yang dapat dipercaya. Alur logis akan memberikan suatu hasil yang cukup logis untuk diterapkan diatara kebingungan-kebingungan yang terjadi dalam membenahi pengelolaan hutan nasional yang sangat kompleks. Justifikasi uji statistic sedikit banyak akan memberikan kepercayaan kepada kita dalam membuat sebuah kebijakan pengelolaan hutan nasional. Multisistem pengelolaan hutan akan memberikan penilaian terhadap pengelolaan hutan local dan secara umum terhadap pengelolaan hutan nasional. Di sinilah pentingnya membangun sebuah model pengelolaan hutan (model buatan) untuk menjembatani keberhasilan pengelolaan hutan nasional secara  keseluruhan.

Apakah keterbatasan yang akan terjadi dengan mewujudkan ide multisystem pengelolaan hutan?

Permasalahan mendasar adalah ide ini merupakan ide yang baru dimana perlu dukungan sub-sub penelitian awal yang akan mengkaji setiap korelasi parameter-parameter penduga model pada setiap wilayah yang menjadi perhatian dalam kajian. Beragam pemahaman baik ekologi, social dan  ekonomi akan menjadikan pembuatan multisystem pengelolaan hutan dilakukan secara kolaborasi dimana model sebagai ide pengikatnya. Tanpa penelitian-penelitian dasar maka model yang dibangun perlu divalidasi menurut rentang waktu tertentu.

Melestarikan Kemunduran Hutan

Hutan ideal adalah hutan klimaks. Gangguan pada hutan menyebabkan pergeseran kondisi hutan menuju kerapatan/jumlah jenis yang rendah, kondisi lahan yang kritis dan munculnya jenis-jenis suksesi awal seperti semak belukar, alang-alang atau jenis-jenis pioner yang umumnya mempunyai ciri: cepat tumbuh, tahan terhadap kekritisan lahan yang tinggi, mempunyai sifat alelopati dan tahan terhadap pencahayaan maksimal.

Tantangan terbesar pengelolan hutan adalah memulihkan kembali kondisi hutan ke kondisi optimalnya.
Namun, paradigma yang berkembang adalah kita sesungguhnya mencoba beradaptasi terhadap kemunduran hutan dan bukan memperbaikinya. Gambaran hal tersebut ditandai oleh adanya pengembangan dan penanaman secara luas jenis-jenis yang cepat tumbuh, komposisi tanaman yang seragam (tingkat dominansi yang tinggi) dan mempunyai daya tahan terhadap kekritisan lahan yang tinggi.  Sesungguhnya jenis-jenis berkategori apakah yang kita tanam? Jenis-jenis itu adalah jenis-jenis pioner atau jenis-jenis suksesi awal.

Rehabilitasi hutan dan lahan adalah tepat diawali dengan penanaman jenis-jenis suksesi awal, untuk memperbaiki kualitas penutupan, kualitas lahan dan menciptakan iklim mikro yang mendukung bagi pertumbuhan tanaman pada suksesi lanjutannya menuju terbentuknya ekosistem hutan yang optimal. Namun para silvikulturis akankah meniru pola rehabilitasi dalam bentuk mengembangkan jenis-jenis dengan kriteria pioner tetapi cenderung meninggalkan jenis-jenis tumbuhan pada hutan klimaks, yang umumnya lambat tumbuh, berat jenis kayu yang tinggi dan membutuhkan kualitas lahan yang baik?

Nilai ekonomi pengelolaan hutan sejak awal dilakukannya eksploitasi hutan alam tropika memang mengenal jangka waktu pengelolaan yang panjang, minimal 20 tahun atau lebih. Hal tersebut dengan landasan ekonomi dan ekologis dari pohon-pohon bernilai ekonomi tinggi dari hutan alam tropika yang umumnya mempunyai daur tumbuh yang lama. Tapi, mengapa kita sekarang cenderung bangga dengan mengembangkan jenis-jenis yang berdaur pendek dan pioner? Atau mencoba menurunkan kualitas dengan membuat jenis-jenis lambat tumbuh menjadi cepat tumbuh? Sesungguhnya kita mencoba beradaptasi dengan kemunduran hutan atau sengaja melestarikan kemunduran hutan?  Bayangkan jika hutan alam tropika kita berganti menjadi tegakan pioner seluruhnya….Tegakan-tegakan yang rentan terbakar,  produktifitas ekosistem yang rendah, menumbuhsuburkan hama dan hanya mempunyai satu fungsi yaitu fungsi ekonomi jangka pendek…