18 Sep 2010

Guyon ato serius?

Pada tahun 2005, Indonesia menempati urutan ke 3 terbesar pemilik penutupan hutan tropis dunia dengan persentase hutan terselamatkan sebesar 48,8% setelah Brazil dan D.R.Congo yang masing-masing mampu mempertahankan 57,2% dan 58,9%  luas penutupan hutannya. Namun, selama periode 1990-2005 Indonesia telah kehilangan 28.072.000 ha hutannya. Sangat memprihatinkan sesungguhnya bahwa negara-negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia hanya mampu mempertahankan penutupan hutannya tidak lebih dari 60% saja. Dan lebih memprihatinkan lagi bahwa luas total hutan tropis dunia, yang di dalamnya terkandung 50% keragaman hayati bumi, pada tahun 2005 tercatat hanya tersisa 43,5% saja (FAO, 2005).  Ironis juga terjadi yaitu pada kenyataannya negara pembabat hutan dengan potensi terkaya di bumi ini adalah negara-negara menengah ke bawah yang luasan hutannya sangat luar biasa, begitu juga dengan utang luar negerinya? 
Dalam skala nasional, selama periode 1997-2006, kerusakan hutan dan lahan di Indonesia telah menyebabkan timbulnya lahan kritis seluas 59.170.700 ha di dalam kawasan hutan (76% dari luas kawasan hutan). Penyerobotan lahan hutan oleh masyarakat mencapai 44.668,87 ha dan penebangan liar diperkirakan telah mengakibatkan kehilangan kayu  bulat ± 7.420,64 m3. Pada tingkat Daerah Aliran Sungai (DAS), hingga tahun 2006 kerusakan hutan dan lahan telah menyebabkan munculnya 60 DAS berkategori super kritis. Di lain pihak, Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) hingga tahun 2006 hanya mampu merehabilitasi 743.591 ha (1,2% dari luas kawasan hutan kritis). Nilai tersebut jauh di bawah laju degradasi dan deforestasi sebesar 1,7 juta ha per tahun pada peride tahun 1997-2006 (Departemen Kehutanan, 2006).  Namun dengan bangga orang kehutanan mengatakan bahwa “laju” degradasi dan deforestasi hutan sekarang mulai menurun. Apa hal itu bukan disebabkan karena luas hutannya yang memang sudah mulai habis?
Orang kehutanan sudah faham bahwa secara alami hutan tropis Indonesia mempunyai keragaman ekosistem. Klasifikasi ekosistemnya pun cukup beragam di kalangan para pakar, diantaranya: Koppen, Schmidt dan Ferguson, Mohr dan Steenis. Pembagian-pembagian tersebut mengenalkan kita pada beragam ekosistem hutan, diantaranya yang cukup banyak dibicarakan secara kontroversial adalah hutan rawa gambut, hutan mangrove, hutan kerangas, hutan pinus, hutan hujan tropis dan hutan monsoon.  Namun demikian para pakar di Indonesia telah berhasil membagi hutan tidak lagi berdasarkan ekosistemnya tetapi berdasarkan fungsi, bentuk dan tujuan pemanfaatannya. Namun para pakar Indonesia tersebut tidak suka berdebat dan sangat luwes, jika adanya tekanan tertentu maka hutan itu dapat dialihfungsikan atau dilimpahkan saja pengelolaannya kepada pihak lain atau orang asing? 
Seorang profesor mengatakan bahwa sudah waktunya kita mengelola hutan lebih dekat dengan alam. Profesor lainnya mengatakan sudah seharusnya masyarakat menjadi subyek pengelola hutan. Sedikit menyindir, seorang profesor mengatakan bahwa telah terjadi salah persepsi bagaimana melibatkan masyarakat dalam mengelola hutan. Seorang profesor lain menyatakan bahwa keberhasilan pemuliaan hutan tidak bisa dicapai secara gegabah apalagi untuk mendukung pelestarian sumberdaya genetik. Profesor lainnya menyatakan bahwa tidak tepat jika hutan konservasi terfragmentasi dan pengelolaannya tidak berbasis lansekap. Sementara itu, agak sedikit menekankan, seorang profesor non kehutanan menyatakan bahwa orang kehutanan seperti terbius dengan ilmu canggih luar negeri dan tidak dapat memberikan bantahan ketika aplikasi ilmu tersebut untuk kondisi di Indonesia adalah tidak benar dan bahkan menyudutkan dunia kehutanan sendiri. Namun dengan ringan, seorang pakar statistik hanya berkomentar bahwa peneliti-peneliti kehutanan umumnya justru melakukan analisa statistik dalam penelitiannya dengan cara yang keliru?
Fakta demi fakta yang saya temui membuat saya sedikit malu menggunakan seragam dinas kehutanan dan saya memilih tidak memakainya apalagi ketika harus bertemu dengan masyarakat.  Begitu banyak janji manis mengatasnamakan kehutanan yang gagal di tingkat lapangan dan begitu banyak pendapat orang kehutanan sendiri yang sesungguhnya menunjukan dirinya bukan orang kehutanan tapi sebagai seorang pengusaha, penguasa, penterjemah, bodyguard atau seorang teknokrat super spesialis yang kadang dengan bangga muncul di media masa mengatakan bahwa teknologi menunjukan bahwa hutanku telah rusak atau jenis ini telah punah dan itu bukan salah orang kehutanan tapi salah masyarakat yang tidak mau diatur oleh orang kehutanan, lihatlah saya datang dengan membawa uang, mau..mau..mau?

Tidak ada komentar: