28 Sep 2010

Hutan Versus Masyarakat

     Pengelolaan hutan yang tidak mengangkat kepentingan masyarakat yang berada di dalam dan di sekitarnya sering menimbulkan konflik kepentingan yang berujung pada ketidaksalingpercayaan antar masyarakat dengan para pemangku hutan.  Konflik kepentingan yang berujung pada semakin rusaknya hutan secara tidak terkendali dan berlanjutnya penegakan-penegakan hukum yang tidak berkeadilan. 
       Dalam sekala keruangan hutan terpisah dari masyarakat.  Namun dalam sekala fungsi, hutan dapat berperan sebagai tempat masyarakat mencari sumber kehidupan, sebagai tempat masyarakat mendapatkan perlindungan dari bencana alam dan sebagai tempat masyarakat mengembangkan budayanya.  Hutan juga berfungsi strategis baik untuk kehidupan masyarakat sekarang dan kehidupannya antar generasi.
     Mari kita lihat sisi mendasar pengelolaan hutan nasional, sebagai berikut: 

  1. Hutan sesungguhnya dikuasai oleh negara dan dilaksanakan pengelolaannya oleh instansi, pemerintah kelompok masyarakat atau  pengelola tertentu yang ditunjuk oleh negara melalui Menteri Kehutanan.

  2. Hutan merupakan benda publik yang diperuntukan untuk publik secara nasional dan bukan untuk satu golongan masyarakat tertentu atau satu kepentingan tertentu.

  3. Hutan terbagi dalam tiga fungsi utama dengan tiga tipe pengelolaan yang sangat berbeda meskipun berada pada wilayah keruangan yang berdekatan atau bahkan berada pada tipe sosial yang sama di suatu wilayah tertentu.
       Berdasarkan ketiga hal tersebut, dikotomi antara hutan dengan masyarakat bisa terjadi  jika terjadi benturan antara kepentingan masyarakat dengan kebijakan pengelolaan hutan nasional atau dengan kebijakan pengelolaan hutan di daerah menurut interpretasi masing-masing pengelola/pemangku hutan.
     Pemerintah mengelola hutan melalui Unit Pelaksana Teknis (UPT) di daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau melimpahkan kewenangan pengelolaannya kepada Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten dan kepada swasta (perorangan atau kelompok yang berlembaga/berbadan hukum usaha tertentu).  Di luar semua pihak yang dimaksud tersebut itulah yang kemudian disebut sebagai masyarakat secara khusus. Kelompok masyarakat ini cenderung dipersalahkan sebagai perambah hutan dan illegal logger.  Meskipun pada kenyataannya kerusakan hutan terbesar berada pada kawasan hutan produksi yang notabene dikelola oleh pihak berkelembagaan yang mendapatkan ijin resmi dari Menteri Kehutanan.
      Adalah kemudian dikenal beberapa istilah, diantaranya: Hutan Kemasyarakatan, Social Forestry, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Hutan Tanaman Rakyat yang mengangkat masyarakat tak berlembaga usaha menjadi masyarakat berlembaga sosial yang dapat turut serta dalam pengelolaan hutan nasional.  Langkah ini merupakan suatu langkah pengelolaan hutan yang lebih maju dan lebih berkerakyatan. 
      Secara teoritis tentunya praktek pembangunan kehutanan yang ada dewasa ini sudah cukup ideal. Namun kemudian mengapa pengelolaan hutan masih saja dibayang-bayangi oleh kerusakan dan kehilangan kawasan hutan dan mengapa masih terdapat anggapan bahwa masyarakat masih menjadi pihak yang terpinggirkan, tak diakui dan pihak yang dipersalahkan dengan adanya kerusakan hutan terbesar yang ada sekarang?
    Jawabannya terletak pada konsep keadilan pengelolaan hutan yang belum dapat diwujudkan.  Keadilan pengelolaan hutan seharusnya difahami sebagai bentuk keadilan terhadap hutan dan masyarakat baik dalam jangka pendek maupun untuk jangka panjang antar generasi.  Hutan memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dan begitu juga dengan masyarakat yang kemudian dibedakan karena kepemilikan modal, keinstansian, kelembagaan usaha atau kelompok sosial tertentu.
     Keadilan terhadap hutan adalah bagaimana mengelola hutan yang lebih dekat dengan sifat alami ekosistem hutan itu sendiri. Hutan seharusnya tidak dimanipulasi hanya untuk menghasilkan suatu produk tertentu atau hanya untuk kepentingan tertentu dari sudut pandang tertentu, tetapi seharusnya hutan hanya dikendalikan dan dilengkapi kemampuannya dengan teknologi yang dimiliki pengelolanya. Hutan tumbuh dan berkembang kearah suksesi yang paling ideal dengan kondisi habitatnya.  Gangguan terhadap ekosistem hutan yang tidak terkendali akan mengarahkan suksesi alami hutan menuju pada keseimbangan yang mungkin akan membahayakan bagi manusia, meskipun bagi alam kondisi itulah yang paling ideal.   Hutan punya keputusan tersendiri dalam konteks keseimbangan alam sebagai mana juga manusia mempunyai keputusan.
       Di sisi lain, hutan bukanlah gudang utama kesejahteraan masyarakat yang sering dinilai dengan uang.  Hutan juga bukan lembaga sosial yang harus selalu bisa menjawab setiap permasalahan sosial masyarakat. Hutan juga bukan hanya milik manusia tetapi juga milik alam dalam menjaga keseimbangannya.  Dalam pengertian ini dari sisi manusia maka mengelola hutan bukanlah hanya untuk kepentingan manusia sesaat tetapi juga untuk menjaga susksesi alam kearah yang tidak mambayakan kehidupan manusia  di masa sekarang dan dimasa yang akan datang.  
      Keadilan yang dituntut oleh masyarakat terhadap hutan haruslah dilakukan setelah hak alam terhadap hutan dipenuhi karena sesungguhnya kita tidak mampu mengendalikan kemana dan seberapa cepat alam akan bergerak dengan kemampuan teknologi dan pengetahuan manusia yang hanya bisa lestari dengan diestafetkan secara baik dari satu generasi ke generasi selanjutnya.  Ketika kebutuhan yang dituntut oleh manusia terhadap sumberdaya alam selalu tidak terbatas dan terus bertambah dengan semakin bertambahnya populasi manusia, maka hak alam dari hutan hanya akan dapat diberikan ketika kita mampu terlebih dahulu membatasi kebutuhan manusia.  Hak alam sesungguhnya akan berwujud jaminan dari alam akan rasa aman dari bencana, keberlanjutan budaya dan juga nilai uang yang akan dihasilkan dari hutan bagi manusia itu sendiri.  Disinilah sisi keadilan bagi hutan dan manusia.
      Hutan difahami secara nasional mempunyai fungsi lindung, konservasi dan fungsi produksi.  Namun hutan sesungguhnya tidak terdapat secara kompak namun tersebar dalam pulau-pulau.  Kesalahan fatal adalah dengan memandang bahwa ketiga fungsi hutan itu adalah langsung ditujukan untuk kepentingan nasional.  Dalam konteks kepentingan nasional kita akan mudah membagi hutan ke dalam kotak-kotak produksi, konservasi dan kotak lindung.  Hal ini menyebabkan dipatoknya jatah tebang secara nasional untuk mencapai target nasional.  Dan wilayah yang memberikan sumbangan pemasukan terbesar adalah akan lebih diperhatikan apalagi dengan ego sektoral pembangunan yang selalu menitik beratkan nilai pendapatan berupa uang bagi negara.
      Pembagian fungsi hutan seharusnya memandang hutan sebagai ekosistem utuh yang didalamnya mengandung fungsi lindung, konservasi dan produksi.  Seberapa besar fungsi tersebut lebih penting dari fungsi lainnya harus ditentukan per pulau, per ekosistem hutan dan tingkat kepentingan masyarakat terhadap hutan di suatu wilayah tertentu.  Setiap ekosistem hutan dibagi secara adil dengan kesadaran bersama untuk mewujudkan ketiga fungsi hutan tersebut.  Disinilah pentingnya dialog yang selesai dengan masyarakat yang merupakan kegiatan yang kadang tak pernah diperhatikan ketika orang-orang beruang, berilmu dan berjabatan tertentu memandang dirinya lebih mampu dan berkuasa terhadap hutan.  Disinilah kunci sesungguhnya memaknai keadilan bagi hutan dan masyarakat.  Hentikan kebodohan-kebodohan manusia beruang, berjabatan dan berilmu dalam memandang hutan dari sudut pandangnya semata.  Sering-seringlah berdialog dengan alam, dengan ekosistem hutan dan dengan masyarakat karena sesungguhnya hidup kita adalah seumur jagung dan uang, jabatan serta ilmu yang dihasilkan dari kesombongan hanya akan menjadi racun bagi generasi berikutnya yang semakin menjauhkan terwujudnya keadilan bagi hutan dan bagi masyarakat.  
      Hentikanlah berfikir adanya produk unggulan nasional dari hutan, teknologi unggulan nasional dari hutan atau kebijakan unggulan nasional untuk hutan.  Marilah kita hilangkan semua ide bodoh tersebut dan mulailah berfikir tentang produk unggulan ekosistem hutan dari suatu pulau, teknologi unggulan dari suatu ekosistem hutan tertentu dan kebijakan unggulan pengelolaan suatu ekosistem hutan tertentu.  Berhentilah menetapkan jatah tebang atau produk nasional, tetapi berfikirlah mengenai jatah tebang atau produk secara pulau dan secara ekosistem. Berhentilah untuk berfikir menyeragamkan secara nasional wujud keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Berfikirlah tentang konsep itu setelah masyarakat dengan kesadarannya terhadap fungsi-fungsi hutan menentukan peran apa yang terbaik untuk dirinya dan untuk hutannya.  Hentikan dikotomi antara hutan versus masyarakat karena sesungguhnya hutan adalah juga bagian dari ekosistem masyarakat sejak zaman nenek moyang bangsa ini ada.  Dan terakhir  hentikankanlah kebodohan kita untuk selalu mengambil keputusan tentang hutan, tetapi pertimbangkan bahwa hutan juga punya keputusan tersendiri dalam keseimbangan alam yang dipatuhinya.
             

      

2 komentar:

peneliti-jalanan.blogspot.com mengatakan...

apapun konsep, teori, atau pendekatan yang dipakai, pengelolaan hutan di negara ini tetap saja mengacu kepada scientific forestry, atau dikenal dengan Timber Based Forest Management. Mashab ini mementingkan pengelolaan hutan secara negara sentris dan mengabaikan kemaslahatan masyarakat yang mengelola sebelum adanya negara.

Niten Bharata mengatakan...

Terima kasih komennya bro..Itu benar sekali sesuai kenyataannya. Sedikit berkomen balik, sepengetahuan saya tidak ada yang salah dengan konsep TBFM, karena itu memang bagian terekonomis yang selama ini difahami. Adalah yang kemudian menjadi masalah bahwa TBFM dijadikan satu-satunya konsep pengelolaan hutan secara seragam untuk semua pulau, ekosistem dan tipikal masyarakat yang berhubungan langsung dengan hutan. TBFM sebagai sebuah sistem mempunyai kriteria dan indikator kelestarian. Konsep ini juga mengenal istilah konservasi hutan. Namun kemudian konsep ini sering disalahterjemahkan karena konsep kelestarian dan konservasi yang diusungnya dipandang tidak ekonomis dan membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan nilai ekonomis. Konsep ini memang terkesan negara sentris karena diadopsi dari pengelolaan hutan negara luar yang notabene hutan dan masyarakat secara keruangan terpisah begitu juga secara fungsi. Masyarakat menjadi terabaikan dengan hanya mengadopsi langsung TBFM... menyedihkan...