22 Okt 2010

Agroforestri dan Silvikultur Hutan Nasional

Teknologi silvikultur dirumuskan secara seimbang dengan mempertimbangkan karakteristik ekologi, sosial, ekonomi, teknologi dan pendekatan-pendekatan kelestarian hutan dan lingkungan yang berada di suatu lokasi tertentu. Teknologi silvikultur akan berbeda seiring dengan dinamika kebijakan kehutanan pusat yang mempengaruhi teknologi silvikultur di tingkat unit pengelolaan dan tapak.

Agroforestri adalah suatu sistem pengelolaan lahan dengan berasaskan kelestarian, yang meningkatkan hasil lahan secara keseluruhan, mengkombinasikan produksi tanaman termasuk tanaman pohon-pohonan dan tanaman hutan dan/atau hewan secara bersamaan atau berurutan pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan kebudayaan penduduk setempat (Permenhut No. P.7/Menhut-V/2007)

Sebagai sebuah model pengelolaan lahan, agroforestri mempunyai implikasi-implikasi positif dalam menjembatani kepentingan masyarakat terhadap hasil lahan jangka pendek dan keperluan pemenuhan produk hutan jangka panjang. Agroforestri juga mampu meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan, menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan dan meningkatkan fungsi ekologis hutan.

Pengembangan Agroforestri di Indonesia dilaksanakan di dalam kawasan hutan dan lahan-lahan milik rakyat di luar kawasan hutan negara pada daerah yang memiliki potensi untuk pengembangan Agroforestri dan daerah rawan pangan di Kabupaten/Kota. Agroforestri diwujudkan dalam bentuk Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Rakyat.

Beberapa implikasi terkait penerapan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur:

• Kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian dan/atau ternak/ikan, merupakan jembatan bagi pemenuhan berbagai kepentingan terkait penggunaan lahan.

• Pada skala unit lahan kelola pengaturan kombinasi jenis pada agroforestri dilakukan untuk memberikan solusi bagi berbagai permasalahan seperti menekan permasalahan sosial dan peningkatan produktifitas lahan.

• Kombinasi jenis pada sistem agroforestri dapat dilakukan pada sekala lansekap dimana pengaturan jenis dilakukan pada mozaik-mozaik. Masing-masing mozaik memiliki kerapatan dan fungsi tertentu. Kombinasi jenis seperti ini cukup efektif dalam meningkatkan kelestarian tumbuhan dan satwa disamping tetap meningkatkan produktifitas lahan-lahan pertanian di dalamnya.

Perlu menjadi bahan pemikiran bersama bahwa ketika masyarakat menjadi pengelola hutan dan teknologi agoforestry dijadikan sebagai teknologi silvikulturnya, maka beberapa hal perlu diperhatikan:

1. Nuansa ekonomi kerakyatan harus menjiwai pengelolaan hutan oleh masyarakat. Luas lahan kelola masyarakat perlu dibatasi baik sebagai individu maupun sebagai kelompok. Hasil kajian di Pulau Lombok menunjukan bahwa luasan 2 - 5 ha per orang adalah luasan optimal yang mampu dikelola oleh satu kepala keluarga yang memberikan keuntungan yang cukup menguntungkan secara ekonomi baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sesuai keterbatasan kemampuan permodalan, teknologi dan tenaga kerja yang dimilikinya. Ketika masyarakat berkumpul dalam satu kelembagaan usaha, maka luasan total lahan kelola perlu dihitung berdasarkan luasan minimal dikalikan jumlah anggota kelompok. Ketika luasan lahan tidak dibatasi, maka akan membuka peluang masuknya para pemilik modal yang mengatasnamakan masyarakat dan masyarakat miskin akan kembali tersingkirkan. Nuansa ekonomi kerakyatan juga diwujudkan dengan pemantapan kelembagaan sosial dan ekonomi masyarakat lokal. Adopsi pranata sosial dalam penerapan penghargaan, sangsi dan aturan-aturan pengelolaan lahan dan bagaimana masyarakat menumbuhkan usaha ekonominya perlu dilakukan.

2. Pembinaan kelembagaan lokal, pendampingan dan fasilitasi usaha perlu diberikan hingga pada suatu kondisi dimana masyarakat secara kelompok mampu mandiri mengelola hutan.

3. Input teknologi tepat guna perlu terus dikembangkan dan diintroduksikan dalam pengelolaan hutan oleh masyarakat untuk mendukung peningkatan produktifitas lahan dan pendapatan masyarakat. Penggunaan bahan-bahan kimia dalam budidaya tanaman semusim sejauh mungkin dihindari. Pengembangan teknik-teknik konservasi tanah dan air yang mampu meningkatkan produktifitas lahan dan pendapatan petani pada tiap unit lahan kelola yang sempit dan dengan input biaya yang rendah perlu mendapatkan perhatian khusus.

4. Pengelolaan hutan oleh masyarakat sangat mungkin akan menyebabkan hutan terbagi dalam luasan-luasan kelola yang sangat sempit. Dengan demikian penataan setiap mozaik kecil lahan kelola perlu dilakukan untuk menekan seminimal mungkin fragmentasi hutan dalam sekala luas dan mengarahkan komposisi dan struktur jenis yang dikembangkan oleh masyarakat dalam batas yang mendukung kestabilan lahan dalam menahan erosi dan kelestarian siklus hidrologi dalam bentangan lahan yang luas.

5. Masyarakat sebagai pengelola hutan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan para pengelola hutan lain yang bergerak dalam skala besar. Berbagai aturan pengelolaan hutan perlu diterapkan. Dalam hal ini keharusan adanya areal konservasi, daerah perlindungan sumber-sumber air, perlindungan tebing, tata aturan terkait administrasi pemasaran, peredaran hasil hutan, perlindungan hutan dan aturan lainnya tetap diberlakukan. Penerapan hak dan kewajiban yang sama akan menumbuhkan profesionalisme pengelolaan hutan di tingkat petani yang bukan mustahil akan menjadi pendorong cikal bakal perubahan paradigma silvikultur hutan tropis nasional dari menekankan usaha dengan padat modal dan teknologi tinggi yang diadopsi dari sistem dan metode silvikultur negara-negara maju menuju paradigma baru pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat yang padat karya dan pro kemakmuran bagi rakyat.

Agroforestri sebagai sebuah solusi teknologi silvikultur perlu dirumuskan penerapannya terkait dengan telah dibukanya akses yang cukup besar bagi masyarakat secara kelompok untuk mengelola hutan secara langsung. Perlu kehati-hatian dalam menjadikan agroforestri sebagai sebuah teknologi silvikultur dalam hal mempertahankan nilai-nilai luhur kearifan pengelolaan lahan oleh masyarakat, mengatasi rendahnya kesiapan masyarakat secara kelembagaan, ekonomi dan teknologi dalam pengelolaan hutan serta mengatasi tingginya peluang fragmentasi hutan dalam luasan yang lebih kecil.

Agroforestri sebagai teknologi silvikultur juga harus mampu menumbuhkan iklim yang sehat dalam berbagi keuntungan, tanggung jawab dan pengelolaan hutan. Pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui agroforestri seharusnya juga merupakan wujud perkuatan ekonomi nasional. Keseriusan semua pihak dalam pengembangan agroforestri sebagai suatu teknologi silvikultur sangat penting untuk mewujudkan nilai-nilai lebih dan implikasi-implikasi positif penerapan teknologi agroforestri dalam pengelolaan hutan tropis di Indonesia.

Agroforestri membawa paradigma baru pengelolaan hutan dimana penumbuhan ekonomi masyarakat dan kelestarian hutan pada unit tapak akan memberikan dampak pada penumbuhan ekonomi dan kelestarian hutan secara nasional. Paradigma ini menggantikan paradigma lama pengelolaan hutan nasional yang menekankan pertumbuhan yang pesat dari usaha sekala besar untuk membantu tumbuhnya usaha-usaha sekala kecil. Pertanyaan besar apakah paradigma baru tersebut akan lebih berhasil daripada paradigma lama yang terbukti memiliki banyak kelemahan? Keseriusan dalam menjadikan agroforestri sebagai suatu solusi teknologi silvikultur nasional akan menjadi kunci keberhasilan implementasinya.

Tidak ada komentar: